Carnaval In Jogjakarta

Miniatur masjid ikut meramaikan carnaval malam takbiran



Si kecil, tidak mau kalah



Penuh warna



Dengan latar belakang patung yang aneh

CPGC International Intership Program (Indonesia Research Progam) In Bali 2009

Taman 65, tempat luarbiasa yang pernah aku jumpai.
miniatur masyarakat yang tidak menyerah dengan keadaan
selalu belajar dan bekerja.




Perpustakaan mungil disudut ruang tamu,
potret keluarga yang selalu melawan lupa





Meski berbeda namun kami menghormati perbedaan itu,
Cintakasih, perdamaian adalah bahasa universal
kami selalu dan selalu mencoba memahaminya





"Suarakan apa yang anda ingginkan,
agar semua orang tau siapa anda.
Lakukan! sebelum orang bosan & mengacuhkan mu"
(kata seorang kawan penuh simpatik)





"Dilingkaran aku cinta padamu" kata Iwan Fals
Lingkaran layaknya cincin
ini lingkaran ide, tak mampu dipenjara waktu

SENI-BUDAYA ITU MILIK SIAPA? Pentas seni rakyat di malam takbiran, suatu khazanah yang terlupakan






















By: Gafur Djali


Berkesenian adalah bentuk kebebasan

Setiap orang berhak berkreasi,berekspresi dan berapresiasi

Apa yang dirasakan dalam setiap sendi kehidupan dapat diluapkan

Dengan seni-budaya manusia belajar untuk jujur

Dengan seni-budaya manusia perlahan membangun dan menjaga peradabanya

Karena dengan peradaban kita menjadi Manusia(wi)



Sebaris wajah Jogja

Layaknya malam-malam menjelang lebaran seperti tahun yang sudah-sudah, masyarakat berbondong-bondong tumpahruah di jalanraya. Wajah sumringah, penasaran, tak sabar, dan gembira tergambar dari ekspresi rautmuka orang-perorang. Tua, muda, besar, kecil, laki-laki, perempuan, banci, gay, lesbi semuanya menghadiri hajatan akbar tersebut. Sudut jalan serasa begitu sesak dipenuhi dengan lautan manusia.

Saya-pun tidak mau ketinggalan untuk menjadi saksi hidup melewati pergantian malam menuju 1 Syawal 1430 Hijriah. Ini tahun ke-empat menghabiskan malam takbiran di tanahrantau. Negeri yang mengikrarkan diri sebagai pewaris kerajaan Pajang yang pada masa jayanya pernah menguasai Jawa secara penuh. Pernah juga menjadi Ibu kota Negara pada awal kemerdekaan. Kini dikenal sebagai kota pelajar kawah candradimuka tempat menempa putra/putri Indonesia, dan sekarang dihuni sekitar 4 juta jiwa penduduk, ya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota yang lebih akrab disapa Jogja ini merupakan salah satu kota icon budaya Indonesia. Kita dapat menjumpai warisan budaya yang sampai sekarang masih menjadi panutan warganya, bukan hanya sebagai ritus budaya melainkan telah menjadi bagian penting dalam tatanan masyarakat Jogjakarta bahkan Indonesia. Setiap ada yang menyebut Jogja maka pikirannya pasti tertuju pada beberapa Icon budaya, seperti Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman, candi Prambanan, Candi Ratu boko, Pemandian taman sari, Jln Malioboro, Tari Djatilan, Batik, Gamelan, Wayang, gudek dll. Selain itu kota ini juga dikenal memiliki tradisi Islam yang kuat dengan organisasinya Muhammadiah.

Seni-budaya yang khas, masyarakat yang ramah dipadu dengan alam yang eksotis menjadikan Jogja sebagai destinasi pariwisata favorit ke-dua setelah Bali. Turis demestik maupun mancanegara menyempatkan diri mengunjungi Jogjakarta yang oleh dinas pariwisata setempat memprediksi volume pertahunnya dapat mencapai 2 juta orang wisatawan pertahunya.

Layaknya kota-kota lain di Indonesia dalam memeriahkan malam takbiran, Jogja menggelar acara agenda tahunan yaitu Takbir Akbar keliling. Acara ini melibatkan hampir seluruh elemen masyarakat yang tergabung dalam grup kesenian, paguyuban, organisasi kepemudaan, perwakilan dari Mushola/masjid, kelurahan, sekolah, pengajian, dll. Secara umum peserta di domoniasi oleh anak-anak, remaja dan anak muda. Semuanya berpakayan seragam, kompak, meriah penuh warna-warni dan dihiasi dengan beragam aksesoris dari tradisional maupun modern seperti blangkon, lampion sampai lampu warna-warni ala-starwars. Bukan itu saja ada juga yang membuat patung Aladin lengkap dengan lampu ajaib dan jin, miniatur-miniatur seperti masjid, kapal, Ka’bah juga tidak absen dalam Takbir Akbar tersebut. Parade berjalan perlahan namun penuh semangat, penuh kebersamaan, baik peserta maupun penonton semuanya larut dalam sukacita penuh kegembiraan .

Dalam acara takbiran tersebut para peserta berjalan menyusuri jalan-jalan protol dengan tujuan perempatan kantor pos Jogja. Sepanjang perjalanan mereka melafalkan takbir, tahmid dan tahlil menyanjung kebesaran sang pencipta. Selain itu pawai juga di isi dengan atraksi-atraksi menarik yang ditampilkan seperti tarian, musik dan formasi barisan yang tak jarang mengundang decak kagum dan tepuk tangan meriah para warga yang menyaksikan dari bibir jalan.

Ini pemandangan yang cukup langka karena hanya terjadi setahun sekali itupun untuk memeriahkan hari suci umat Islam. Dengan kamera poket ditangan saya coba merekam setiap moment dalam pawai tersebut. Malam begitu cepat berlalu dan tidak terasa empat jam sudah saya berdiri meyaksikan parade Takbir Akbar tersebut. Ditengah perjalanan pulang sesekali saya berpapasan dengan peserta pawai yang hendak bergegas pulang namun mereka masih dalam posisi formasi sempurn layaknya seperti diawal pawai. Malam yang istimewa, Jogja begitu berwarna dengan segala hiruk-pikuknya.


Di Jogja tanya itu datang

Setiba di kamar kost saya kembali mengutak-atik kamera melihat hasil jebretan amatiran di pawai tadi. Dengan seksama saya lewati gambar pergambar satu persatu. Dari gambar-gambar tersebut kemudian muncul pertanyaan dalam benak ini. Pertanyaan yang baru tapi lama. Kenapa demikian, dibilang baru karena saya baru menyadarinya namun sudah lama saya rasakan.

Pertanyaan ini tentunya sangat berdasar sesuai dengan perkembangan situasi kontemporer. Perselisihan antara Indonesia dan Malaysia dalam masalah teritorial kini mulai bergeser pada hitung-hitungan ekonomis dari produk budaya. Malaysia entah sengaja atau tidak melalui agen wisatnya memproduksi iklan yang ternyata di dalamnya memuat icon-icon kesenian Indonesia. Banyak sudah kasus yang bergulir dengan modus ini, mulai dari lagu, tarian, kerajinan dll. Wal hasil semua menjadi geram dan berbondong-bondong protes dengan manuver Malaysia tersebut.

Nah, sekarang coba dikorelasikan dengan acara Takbir Akbar yang saya anggap sebagai pentas Seni Rakyat Indonesia karena dari sabang sampai merauke melaksanakan hajatan tersebut. Disini mari melihat Jogja sebagai salah satu kota yang menjadi icon budaya Indonesia atau dapat dijadikan representasi dari Indonesia.

Pertama, Takbir Akbar menunjukan bahwa masyrakat Jogja masih memiliki jiwa seni yang kuat. Termasuk semangat spiritualitas yang terkandung di dalamnya. Upaya atau proses dalam menghadirkan karya seni ke khalayak ramai patut di contoh dan diapresiasi. Bayangkan bila masyarakat kemudian memandang seni adalah hal yang percuma atau seni hanyalah komoditi semata. Ini tentunya berhubungan dengan pemaknaan seni itu sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana seni-budaya diletakan dalam tatanan masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jogjakarta pada khususnya?

Kedua, Takbir Akbar merupakan ekspresi kesenian rakyat yang disalurkan secara spontan atas kerjasama dan kesadaran kolektif masyarakat. Masyarakat kemudian terlibat baik aktif maupun pasif di dalamnya. Bila itu adalah ekspresi berkesenian maka apakah materi pertunjukan sudah benar-benar mencitrakan masyarakat Jogja yang katanya memiliki tradisi Islam dan Jawa yang kental?


Dari Jogja meneropong Indonesia

Pertanyaan di atas mungkin akan mendapat jawaban yang proposional bila melakukan reseach bertahun-tahun secara menyeluruh dan mendalam. Namun di sini saya coba mengemukakan pandanagan subjektif saya dalam melihat persoalan tersebut.

Saya menilai bahwa pemahaman masyarakat akan seni-budaya sangat mulai bergeser. Kebanyakan dari kita masih memandang seni-budaya sebagai sesuatu yang sangat adhiluwung sesuatu yang sakral dan prestisius sehingga hanya segelintir orang saja yang berhak mewarisi dan memiliki akses untuk belajar. Seni-budaya kemudian tersentralkan dalam lembaga-lembaga formal kerajaan maupun negara.

Dalam konteks sejarah hirarkis di Nusantara, kita dapat menjumpai bagaimana Raja begitu digdaya dalam mentukan kemana arah perkembangan seni-budaya itu diorientasikan dan pada umumya hampir semua tersentral di Kerajaan atau negara. Sebut saja dalam pengunaan bahasa daerah yang mengenal kasta, pangkat dan jabatan. Buku-buku sejarah seperti Babad dll, ditulis sangat subjektif oleh penguasa ketika itu. Selain itu terdapat juga tarian dan ritual yang sengaja diproduksi untuk mengukuhkan kedudukan penguasa. Hal serupa kemudian diwarisi ketika masa orde baru berkuasa.

Sampai sekarang kita dapat menyimak bahwa perkembangan seni-budaya cenderung statis bahkan menurun. Mulai berkurangnya sanggar-sanggar kesenian rakyat dan minimnya apresiasi terhadap pelaku seni. Bila pameran atau pementasan haruslah ditempat yang mewah dan dipasang tarif mahal sehingga sebagian masyarakat tidak dapat mengaksesnya. Adanya klasifikasi seni (eksklusif & murahan) ini dapat menjadi indikasi dimana seni-budaya sudah mulai beranjak jauh dari masyarakat. Seni-budaya sudah tidak lagi menjadi sahabat dalam kehidupan.

Imbasnya adalah masyarakat kemudian kehilangan daya kreasi, kehilangan citarasa dalam berkesenian. Karena tidak turut aktif berpartisipasi dalam memproduksi atau mereproduksi produk kesenian. Masyarakat menjadi subordinat penguasa dan alur perkembangannya pun sangat linier dengan grafik perkembangan seni-budaya yang semakin menurun.

Tidak adanya dialektika di dalamnya sehingga masyarakat kehilangan daya cipta, rasa dan karsanya. Saya hendak menunjukan bukti dimana ketika Takbir Akbar berlangsung sekilas saya dapat merasakan betapa mulai menipisnya cipta, rasa dan karsa masyarakat Jogja. Tidak jelas apa yang hendak ditampilkan, selintas seperti Arab, namun bisa juga sangat Jawani, bahkan ada juga yang lebih dahsyat dari budaya pop. Mungkin ini yang dinamakan akulturasi atau transformasi kultural?

Saya memandang masyarakat Jogja masih memiliki kepekaan seni yang tinggi terutama dalam mensikapi kasus klaim icon budaya Indonesia oleh Malaysia. Maka secara bijak dan rasional ini merupakan ajang akbar untuk menjukan kepada dunia bahwa yang menjadi milik kita haruslah tetap hak kita. Namun ternyata kesempatan itu tidak di manfaatkan dengan baik. Kebanyakan peserta lebih bangga dengan atribut modern yang mereka kenakan dan sangat minim yang menggunakan atribut tradisional yang melambangkan kultur Jogja itu sendiri.

Bila ada yang mengklaim Wayang sebagai milik Malaysia maka seluruh orang Jogja bahkan Indonesia akan marah besar. Namun bila disajikan pertunjukan Wayang maka yang hadir dapat dihitung dengan jari atau bila ditayangkan di televisi itu pun sebagai pelengkap semata untuk mengisi jam siaran yang kosong. Bila ada pelaku seni (penari) yang hanya diberi upah Rp.35.000 untuk sekali pentas apakah itu manusiawi? Bila sanggar-sanggar seni harus mengamen dari rumah-kerumah untuk membiyayai operasinalnya apakah itu wajar? Bila proposal untuk festival budaya ditolak karena alasan evisiensi apakah itu proporsional?

Saya memandang ada hal yang tercerabut begitu akut, ketika hal tersebut terjadi maka kemunduran perlahan dari suatu masyarakat jelas sudah. Kita terlalu ahistoris dan apolitis, dua hai ini menjadikan produk kesenian yang dihasilkan hambar makna filosofisnya dan tidak mempunyai imbas dalam kehidupan sosial. Pementasan seni (Takbir akbar) hanyalah rutinitas belaka tidak dipandang sebagai suatu proses ber-kebudayaan. Padahal disinilah interaksi manusia dengan segala ide yang hendak direalisasikan bertemu.

Kita melihatnya seni-budaya secara keseluruhan, sebagai proses yang selalu berdialektika dan menghadirkan sesuatu hal yang kentekstual dan dapat menangkap semangat zaman tersebut. Dalam situasi seperti ini menjadi rasional sebagai warga negara kemudian mempertanyakan peran negara atau pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang orotitas politik dan memiliki akses yang luas, namun sudahkah pemerintah turut aktif dalam seni-budaya di masyarakat?

Untuk Jogjakarta sendiri saya menilai ada beberapa hal yang dapat menjadi tongak perubahan sekaligus bumerang bila tidak dapat dikelola dengan baik. Kraton sebagai Icon budaya Jogja haruslah dapat menjadi media dimana seluruh rakyatnya dapat berkresia, berekspresi dan berapresiasi. Mediasi diperlukan untuk menjaga intensitas dimana rakyat kemudian mendapatkan bentuknya dalam seni-budaya. Bukan sebagai upaya sentralisasi melainkan Kraton dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya sanggar-sanggar kesenian rakyat baik secara spiritual maupun material.

Jangan pernah lupakan bahwa rakyat punya semangat serta potensi untuk maju terutama dalam bidang seni-budaya. Takbir Akbar jadi buktinya, walau bagaimanapun hal tersebut patut diapresiasi setinggi-tingginya. Sudah mestinya seni-budaya diletakan sebagai landasan utama rakyat berekspresi dimana subjek utamanya adalah rakyat. Kebebasan rakyat dalam berkesenian dapat menjadi motor perkembangan suatu bangsa karena dengan seni-budayalah manusia belajar jujur tentang apa yang dirasakan. Dan belajar untuk berani menyuarakannya.

Jogjakarta. Selasa, 22 September 2009

Titik Balik Awalmula Perdagangan Internasional di Nusantara

By: Djali Gafur




Manusia adalah mahluk sosial (zoon politicon). Hidup dan berinteraksi merupakan hal alamiah manusia karena dengan berinteraksilah manusia berinovasi dan membangun peradabannya. Salah satu interaksi manusia yang telah berlangsung sepanjang peradaban dibangun adalah upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan saling menukar barang atau barter. Barter kemudian merupakan aktivitas perdagangan paling kuno sebelum manusia mengenal alat tukar seperti uang. Pemenuhan ekonomi atau kebutuhan dengan cara barter dipandang telah memberikan kontribusi positif dalam perkembangan sejarah manusia karena barter menjadi mediasi untuk membentuk sosialitas masyarakat dan pada titik inilah intensitas interaksi manusia terbangun.

Perdagangan ala-barter dalam perkembangannya telah mempertemukan manusia dari segala penjuru belahan dunia, menyambungkan utara-selatan timur-barat dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda. Dalam historiografi modern, kita mengenal beberapa jalur perdagangan yang dapat menghubungkan Timur, Arab, Asia dan Barat salah satunya adalah jalur sutra. Jalur ini merupakan jalan penghubung yang mempertemukan timur jauh (gujarat, India, Arab) dengan pedagang dari Asia (China) negara-negara bawah anggin (Malaka, Nusantara) dan juga pedagang dari Eropa. Inilah awal interaksi perdagangan (ekonomi) paling intens yang sekaligus menjadi pertemuan antar budaya-budaya berbeda, suatu model perdagangan Internasional konvensional.

Kemunculan uang menjadikan manusia semakain mudah dalam menjalankan aktivitas perdagangan (ekonomi) dan barter perlahan mulai ditinggalkan meski demikian di beberapa tempat barter masih digunakan dalam perdagangan. Setelah penemuan Uang sebagai alat tukar ditambah dengan terbukanya jalur-jalur baru seperti Asia tenggara dan Amerika Latin membuat manusia berlomba-lomba untuk dapat menguasai jalur tersebut. Salah satu jalur yang menjadi primadona terutama dalam kurun waktu sekitar abad ke-13 s/d 16 adalah Asia tenggara terutama kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia).

Nusantara pada zaman Sriwijaya, Majapahit hingga Mataram adalah produsen utama rempah-rempah yang sebagian besar dibeli oleh pedagang dari China, Arab dan India. Dengan memanfaatkan Jalur sutra kemudian mereka menjualnya ke Eropa yang ketika itu merupakan pasar potensial untuk perdagangan rempah-rempah dengan keuntungan berlipat ganda.

Pada awal abad ke-15 Eropa bukanlah kawasan yang paling maju di dunia juga bukan kawasan yang paling dinamis. Semula Eropa merupakan aktor pasif dalam perdagangan internasional, dan hanya mengandalkan Konstantinopel sebagai pelabuhan utama pensuplai barang (rempah-rempah) atau kebutuhan yang datang dari pedagang China, India dan Arab. Namun situasi kemudian berubah. Pada abad ke-15 kekuatan besar yang sedang berkembang pada waktu itu adalah Turki Ottoman. Pada tahun 1453 Konstantinopel yang semula dikuasai Eropa kemudian ditaklukan dan dikuasai oleh Turki ottoman (Ricklefs 2007:61)

Kekalahan tersebut merupakan titik awal kebangkitan Eropa. Konstantinopel sebagai gerbang perdagangan Eropa telah dikuasai oleh Turki hal tersebut menjadikan barang-barang yang dijual ke Eropa yang masuk melalui Konstantinopel berlipat ganda harganya sehingga tidak dapat dijangkau oleh masyarakat Eropa. Hal tersebut mengancam eksistensi kekuatan eropa (Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Italia dll) dalam situasi terdesak akan kebutuhan sumberdaya alam untuk kemajuan ekonomi kerajaan maka muncul inisiatif melakukan ekspedisi-ekspedisi maritim untuk menemukan sumberdaya rempah-rempah tersebut.

Kemajuan dalam bidang navigasi perkapalan, geografi, astronomi, persenjataan, penemuan kompas dan peta kemudian mempermudah ekspedisi-ekspedisi tersebut. Mereka dapat membuat kapal-kapal besar yang mampu mengarungi samudera luas dengan persenjataan (meriam) sebagai alat pertahanan. Ketika zaman itu aura perang salib masih terasa kuat hal tersebut dapat dilihat dari doktrin suci yang ditanamkan untuk ekspedisi-ekspedisi ekonomi tersebut kemudian lahirlah semboyan Gold, Glory dan Gospel (3G) seakan menjadi mantra untuk menaklukan negeri bawah anggin (Malaka, Nusantara).

Titik terang ekspedisi Eropa adalah penemuan jalan menuju Mameluk (Maluku) negeri yang menyimpan rempah-rempah oleh bangsa Portugis. Pada tahun 1511 di bawah komando Alfonso de Albuquerque, Portugis dapat menguasai Malaka yang ketika itu merupakan jalur maritim perdagangan Internasional terramai di dunia yang menghubungkan Negeri atas angin, Timur tengah, China dan India dengan pemasok utama rempah-rempah dari Kepulawan Nusantara. Ini adalah titik yang sangat menentukan dalam sejarah Asia tenggara bahkan sejarah umat manusia.

Setelah penguasaan Portugis atas Malaka, membuat peta (Konfigurasi) perkembangan ekonomi mulai hancur, perdagangan kemudian digerakan dengan Instrumen kekerasan dan monopoli. Inilah masa yang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya “Arus balik” dipandang sebagai awal kebangkitan Eropa yang membuat Eropa begitu superior hingga sekarang dan menjadi akhir dari kejayaan Nusantara yang menimbulkan keterpurukan dan kemiskinan sampai saat ini. Sebelumnya Nusantara merupakan daerah yang maju dan sedang berkembang dari tradisional menuju fase modernisasi ekonomi, hal tersebut hancur lebur karena hadirnya ekspansi dari pedagang Eropa yang menghalalkan segala cara termasuk kekerasan dalam melancarkan misinya.

Kemenangan Portugis tersebut kemudian disusul berdirinya kartel-kartel ekonomi modern dengan maksud hendak menguasai sumberdaya ekonomi yang ada di Asia Tenggara. Maka hadirlah Spanyol dengan spanish Conquistadors, Inggris dengan British Empire, dan perusahaan kartel pertama di dunia Belanda dengan East India Company (VOC). Semuanya merupakan perusahaan-perusahaan transnasional raksasa yang digerakan dengan dana yang memadai, kakuatan maritim besar dan mendapat otoritas penuh dari masing-masing negara. Kehadiran perusahaan (Kartel-kartel) tersebut adalah fase perubahan menuju sistem perdagangan modern yang sistematis. Kesemuanya adalah organisasi internasional pertama di dunia yang lahir dan berkembang mengeruk kekayaan Nusantara dengan maksimal dan sistematis. Perusahan-perusahan inilah juga merupakan jembatan menuju kolonialisme yang menghadirkan keterpurukan selama berabad-abad hingga saat ini.

Inilah catatan singkat bagaimana perdagangan Internasional lahir dan berkembang di Nusantara. Di mana Superioritas Eropa dibangun dari perdagangan (Ekonomi) yang membuat tidak fair adalah mereka memeras habis kekayaan dan potensi tanah orang untuk membangun kemakmuranya sendiri. Suatu ketidak adilan yang dinafikan selama berabad-abad.


Referensi

- Reid, Anthony. Dari ekspansi hingga krisis II (jaringan perdagangan global Asia Tenggara 1450-1680) Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 1999

- Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi, Jakarta, 2007

- Ananta Toer, Pramoedya. Arus Balik (Novel Sejarah), Hasta mitra, Jakarta 2001

- Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali pers, Jakarta 2005

- Gambar di sini

Minggu, 13 september 2009