Siklus Alam dan Bencana Sosial-Politik


Lima belas hari lamanya masyarakat yang selama ini mendiami lereng Merapi hidup dalam ketidak pastian. Hanya satu hak yang pasti “Merapi kembali beraktivitas”. Aktivitas merapai adalah siklus alam yang sudah terjadi berulang kali dan masyarakat sudah “terbiasa” bahkan paham dengan salah satu gunung teraktif di Indonesia tersebut.

Kini, masyarakat shok karena aktifitas merapi sulit diprediksi. Sudah lima belas hari sumburang awan panas terus saja mengalir dari puncak Merapi. Ledakan eksplosifpun seakan menjadi pertanda bahwa Merapi kini mulai bangkit dari tidur panjangnya.

Ratusan ribu penduduk yang bermukin disekitar lereng terutama dalam radius 20 km dari puncak merapi di evakuasi. Proses evakuasi dilakukan oleh tim terlatih (SAR, TNI dll). Pengungsian yang membludak ini diluar antisipasi pemerintah sebelumnya. Belakangan barak-barak pengungsian yang sebelumnya diprioritaskan untuk menampung pengungsi sebagian sudah di tutup, dikarenakan barak-barak pengungsian tersebut masuk dalam radius bahaya merapi.

Tidak ada alternatif lain, kampus, gelongang olahraga, markas TNI, bahakan salah satu pendopo Keraton Yogyakarta disiapkan untuk menampung membludaknya pengungsi. Meski demikian, mobilisasi massa masal sulit dikontrol. Banyak dari warga yang memilih mengungsi di sanak famili, keluar kota atau mensulap mobil (trek) menjadi barak pengungsian, berteduh sementara waktu.

Itu hanyalah satu soal terkait penempatan pengungsian, belum lagi kita menyoal penyaluran logistik dan relawan. Atau rekonstruksi pasca keadaan tanggap darurat. Ada kegelisahan akut yang melanda ketika memperhatikan perilaku distribusi barang yang tidak manusiawi.
Ini persoalan penting, mengingat terkait dengan kelangsungan hidup dan kesehatan para pengungsi dalam kesehariannya. Logistik seperti sembako, obat-obatan, peralatan bayi, peralatan MCK, perlengkapan tidur, baju dll, banyak yang mengalir dari segala penjuru. Rasanya seluruh energi masyarakat Indonesia sedang tercurahkan ke Merapi. Sehingga secara mendasar aliran logistik berdatangan dari segala penjuru.

Sungguh disayangkan, distribusi logistik ini agak kurang merata. Dan bila logistik tersebut didistribusikan lewat jalur pemerintah, maka ada kesusuhan yang sering di alami. Logika pemerintah sangat birokratis, dan penyaluran logistik tersendat dikarenakan alur birokrasi yang terlalu panjang dan cenderung sangat prosedural. Wal hasil, yang menjadi korban adalah para pengungsi.

Perilaku birokrasi tersebut sangat bertentangan dengan instruksi Presiden yang sekarang memilih berkantor di Istana Nagara Yogyakarta. Tujuan utamanya adalah agar alur birikrasi dapat dipersingkat dan penanganan terhadap pengungsi manjadi prioritas utama untuk penegakan nilai kemanusiaan dan hak warganegara . Namun, pada prakteknya urung terlaksana dilapangan. Artinya, pelaksana lapangan tidak memahami logika tangap darurat Merapi dan cenderung bekerja dengan menempatkan logika kerja pada situasi siaga.

Ini pelajaran penting untuk kita semua, terkhusus untuk pemangku kebijakan di level daerah sampai nasional. Tugas penanggulangan merapi masihlah teramat panjang dan berat, mengingat kerusakan material maupun imatrial yang ditimbulkan. Terutama recovery dan rekonstruksi pasca Merapi.

Siklus alam akan berubah menjadi bencana sosial-politik bila penanganan yang dilakukan tidak tepat. Merapi telah memberi banyak, air bersih jernih, tanah subur, pariwisata, keindahan alam dll. Merapi telah memberikan kehidupan pada ratusan bahakan jutaan warga sekitar merapi, Merapi sekarang hanyalah menjalankan siklus alam yang sudah berjalan alamiah. Namun, terkadang manusia tidak mempu membaca perubahan siklus alam tersebut. Kita meski banyak belajar dari Merapi. Mengingat Indonesia dikepung oleh ratusan gunung api aktif. Belajar untuk memahami gejala alam dan belajan untuk mensikapinya.


Gambar

Posko Gerakan Jogja Bangkit
YOGYAKARTA,Selasa 09 Nov 2010

Menakar Nasional(isme) Anak Pesisir


Strategi pengelolaan Lingkungan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Lewat Hukum Sasi

Oleh: Gafur Djali


Abstrak

Masyarakat pesisir adalah potret buram kemiskinan di negeri ini. Ketimpangan pembangunan akibat strategi pembangunan yang kurang adil dan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi atau ulah manusia adalah situasi yang semakin menyudutkan masyarakat pesisir. Di saat peran struktural pemerintah urung terlaksana, maka dibutuhkan strategi pengembangan berbasis pada kekuatan kultural masyarakat, komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat. Strategi tersebut sebagai upaya pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Pada tulisan ini, saya meminjam kebijakan adat yang umumnya dijalankan di Maluku. Pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, berbasis pada kearifan lokal masyarakat Maluku. Yaitu hukum Sasi.


“Nenek moyangku seorang pelaut, maka di laut kita jaya”
Kita semua mungkin sangat akrab dengan ungkapan di atas. Terlebih bagi saya, anak pesisir yang dididik oleh laut. Bagi saya, laut seakan jadi tempat bermain sekaligus rumah yang sangat nyaman. Ungkapan di atas terkadang jadi yel-yel atau nyanyian ketika kami (anak-anak pesisir) sedang memancing, berenang atau sekadar bersantai di pantai bersama teman-teman. Ketika itu, kami sungguh yakin bahwa daerah pesisir (pantai dan laut) adalah tempat paling menyengkan di muka bumi. Dari pesisir pantai, mata begitu luas memandang, menatap cahaya mega senja yang menembus kolong-kolong langit, tanpa batas sampai menyentuh garis cakrawala. Menyelami dasar laut membuat kami seakan menemukan surga kehidupan penuh warna. Kami seakan menemukan kawan-kawan baru, bermain bersama ikan-ikan aneka spesis, terumbukarang aneka bentuk serta biota laut lainnya.

Laut membuat imajinasi kami menjadi liar. Bila ada yang bercita-cita menjadi Marinir, Atlit renang nasional atau Penyelam, itu akan jadi bahan tertawaan bersama. Tak jarang dari kami ada yang bercita-cita menjadi ikan. Alasannya sederhana, saya ingin bebas pergi kemana saja saya suka. Berenang menyeberangi teluk, selat atau lautan luas. Mengunjungi samudera biru, merasakan dinginnya Antartika atau mencicipi hangatnya laut Florida. Sungguh suatu cita-cita yang imajiner. Selain itu, kami juga begitu akrab dengan berbagai ritual-ritual adat yang sering diselenggarakan. Ketika itu, kami tidak mengerti banyak hal. Kami hanya pahami bahwa laut dan manusia adalah saudara, maka kita harus saling menjaga.

Dalam kacamata kecil kami, laut seakan jadi anugerah bagi kami masyarakat pesisir. Pemandangan yang indah, ikan, kepiting, teripang, udang, rumput laut, mutiara dan masih banyak lagi. Semuanya ada di sini, telah tersedia secara alamiah dan kami bisa mengambilnya kapan saja kami mau. Para nelayan begitu piawai menaklukan laut. Perahu atau kapal nelayan selalu bersandar di dermaga dengan hasil tangkapan yang memuaskan. Kehidupan kami sederhana, boleh dibilang mencukupi untuk standar sandang, pangan, papan, akses pendidikan dan kesehatan. Pengalaman di atas hanyalah ilustrasi dari sebuah desa kecil di pesisir utara pulau Ambon. Dan mungkin dapat menjadi potret masyarakat pesisir di Indonesia.


Wilayah Pesisir yang Terlupakan

Belakangan, saya baru menegerti, apa yang selama ini kami amini sebagai anugerah ternyata berubah menjadi kutukan. Karena di belahan dunia lain, meski kekayaan negeri ini melimpah ruah, masyarakat pesisir adalah masyarakat yang akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Semuanya dapat secara kasatmata di lihat. Gubuk-gubuk reot sepanjang bibir pantai dan perkampungan kumuh jadi pemandangan biasa. Kesehatan dan pendidikan terkadang jadi barang mewah. Dapat dihitung dengan jari, hanya segelintir orang saja yang dapat melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi atau mendapat akses kesehatan. Suatu ironi yang sungguh memilukan.

Masyarakat pesisir adalah potret buram kemiskinan di negeri ini. Semakin panjang garis pantai, maka semakin banyak penduduk miskin Indonesia. Saya melihat kemiskinan yang terjadi diakibatkan strategi pembangunan yang kurang tepat. Selama ini, terutama ketika Orde Baru, geliat pembangunan hanya terkonsentrasi di wilayah darat (continental orientation) sedangkan pembangunan wilayah laut (maritim orientation) cenderung terlupakan. Sektor kelautan dan perikanan dianggap sebagai sektor pinggiran (peripheral). Model pembangunan ini secara struktural, selain menciptakan pembangunan yang timpang juga telah menciderai arti Indonesia sebagai negara maritim atau negara kepulauan.

Ketimpangan pembangunan tersebut diperparah dengan kerusakan lingkungan. Pada Januari 2009, Kementrian Kelautan dan Perikanan memaparkan bahwa, dari total luas wilayah perairan Indonesia yaitu 5,7 juta kilometer persegi. Seluas 3,9 juta kilometer persegi atau sekitar 70 persen dalam keadaan rusak ringan hingga rusak berat. Hanya Seluas 1,8 juta kilometer persegi atau 30 persen yang kondisinya masih baik. Kerusakan tersebut dipicu oleh beberapa faktor seperti rusaknya hutan bakau akibat abrasi pantai atau pembangunan. Penangkapan ikan dengan bahan beracun atau bom sehingga merusak karang atau biota laut. Sampah dan zat kimia yang di produksi rumah tangga atau industri, dan masih banyak lagi persoalan struktural maupun non struktural yang memperparah kerusakan wilayah pesisir, perairan atau laut tersebut.

Kerusakan wilayah perairan khususnya wilayah pesisir tentunya akan menjadi kabar buruk bagi masyarakat pesisir. Praktis, masyarakat pesisirlah yang akan terkena dampak langsung dari kerusakan lingkungan tersebut. Ketika tempat yang selama ini dijadikan sebagai tempat hidup dan menafkahi keluarga telah rusak sama artinya kelangsungan kehidupan masyarakat pesisir sedang terancam. Sangat sulit membayangkan peningkatan kesejateraan masyarakat pesisir bila rusaknya kondisi perairan. Kerusakan lingkungan tersebut secara otomatis akan berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat pesisir.

Kondisi tersebut diperparah dengan beberapa kebijakan pemerintah. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif dasar listrik, melonjaknya harga kebutuhan pokok dan lainnya, ternyata juga berimbas langsung bagi para nelayan. Untuk melaut diperlukan biaya ekstra, membeli BBM atau es balok dll. Kerusakan wilayah pesisir memaksa para nelayan memperluas daya jelajah bahkan sampai ke laut samudera. Bila cuaca dan musim sedang baik itu jadi nasib baik bagi para nelayan. Namun bila cuaca memburuk, untuk menutupi biaya melaut saja tidak cukup dan terkadang banyak yang mengalami kerugian. Ketika laut sudah tidak dapat lagi dijadikan sandaran hidup di tengah kebutuhan perut yang semakin mencekik, maka sangatlah mungkin banyak dari nelayan akan memilih beralih profesi. Menjadi buruh pabrik, tukang ojek atau urbanisasi mencari pekerjaan di kota adalah pilihan sulit, yang mungkin saja akan di tempuh untuk sekadar menyambung nafas.

Kita semua menyadari, bahwa masyarakat pesisir kini dikepung dari dua arah secara bersamaan. Ketimpangan pembangunan akibat strategi pembangunan yang kurang adil dan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi atau ulah manusia itu sendiri. Bukanlah suatu kemustahilan untuk dapat keluar dari kesulitan tersebut. Saya dapat sedikit bersyukur karena wilayah pesisir di daerah kami masih terjaga kelestariannya meski ada potensi kerusakan di beberapa titik. Namun, semuanya bisa dikontrol lewat kebijakan adat masyarakat setempat.

Dalam tulisan ini, saya akan paparkan sedikit pandangan subjektif saya tentang strategi pengembangan masyarakat pesisir. Strategi pengembangan yang berbasis pada kekuatan kultural masyarakat, komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat. Terutama meminjam kebijakan adat yang umumnya dijalankan di Maluku. Yaitu hukum Sasi.


Pengelolaan Wilayah Pesisir

Saya meyakini bahwa tidak ada perubahan tanpa kesadaran. Saya pikir ada baiknya bila kita belajar dari kegagalan atau kurang optimalnya beberapa program pemerintah terkait pengelolaan wilayah pesisir. Menurut saya, kegagalan dikarenakan program tersebut belum mampu menyentuh kesadaran masyarakat secara langsung. Pemerintah terkadang menjalankan program-program yang terlalu kaku, sukar diadaptasi atau bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Saya menilai, hal tersebut disebapkan kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam merancang, menjalankan atau mengkoreksi program-program pemerintah tersebut. Dalam posisi inilah, masyarakat pesisir terkadang menjadi objek kebijakan bukan sebaliknya menjadi subjek kebijakan itu sendiri.

Untuk menjawab persoalan di atas. Maka, saya memandang dalam pengelolaan wilayah pesisir dibutuhkan ketepatan antara pengelolaan secara kultural maupun secara struktural. Saya meyakini dalam setiap struktur masyarakat tentunya memiliki kearifan lokal masing-masing. Keunikan budaya yang lahir dari persinggungan manusia dengan alam maupun manusia dengan manusia. Khususnya masyarakat pesisir, terutama masyarakat Maluku. Masyarakat Maluku memiliki struktur adat yang kemudian mampu diadaptasi untuk pengembangan wilayah pesisir. Masyarakat Maluku pada umumnya merupakan masyarakat yang mendiami pesisir atau pulau-pulau kecil. Sehingga kelestarian lingkungan menjadi harga mati. Dalam tradisi adatnya, masyarakat Maluku mengenal hukum Sasi.

Hukum Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati alam (hewani maupun nabati). Sasi memuat peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan rapat Dewan Adat. Keputusan adat tersebut kemudian dilimpahkan kepada Kewang. Kewang adalah suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan sasi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Prosesi sasi terdiri dari dua bagian yaitu tutup sasi (pemberlakuan larangan) dan buka Sasi (pencabutan larangan). Keduanya melalui suatu prosesi adat yang sakral dan melibatkan seluruh masyarakat. Bila ada yang melangar sasi, akan mendapat sangsi. Sangsi dapat berupa sangsi material maupun sangsi adat. Masyarakat percaya bahwa melangar sasi merupakan pelangaran berat, bahkan dapat berdampak musibah bisa berupa sakit atau kematian bagi si pelangar. Kondisi tersebut membuat prosesi hukum sasi dapat berjalan lancar dan optimal, karena masyarakat sadar pentingnya sasi dalam hidup.

Contohnya adalah Sasi meti. Merupakan jenis sasi yang paling umum dan hampir dapat ditemui di seluruh masyarakat pesisir Maluku. Sasi meti adalah sasi yang diletakan pada batas zona pasang surut air laut. Fungsinya agar supaya tanaman dan organisme laut lainnya dapat berkembang biak. Karena pada zona tersebutlah banyak hidup biota laut seperti ikan, teripang, kerang dll. Pada hari yang ditentukan untuk buka sasi, masyarakat akan berkumpul dan melakukan panen bersama.

Yang paling unik adalah prosesi sasi ikan lompa (Trisina baelama) di pulau Haruku, Maluku. Ikan lompa adalah sejenis ikan sardin kecil yang dapat hidup di dua alam yaitu air tawar dan air asin. Ketika acara tutup sasi, masyarakat dilarang menangkap ikan tersebut, sehingga populasi dan regenerasi ikan tersebut dapat dinamis. Anda mungkin akan berdecak kagum atau terheran bila melihat prosesi buka sasi ikan lompa di Haruku. Pada waktu buka sasi tiba, masyarakat akan berkumpul di pertemuan dua alam (sungai dan laut). Pemangku adat akan mulai menjalankan prosesi adat. Tifa mulai di tabuh dan gong di talu, seketika itu juga ikan lompa akan datang mendekati asal suara tersebut dan masyarakat dipersilahkan untuk memanen. Hasil panen kemudian dikumpulkan dan dibagi secara adil sesuai dengan hitungan yang telah di tentukan oleh adat.

Itu hanyalah beberapa contoh kecil praktek hukum sasi di Maluku dan masih banyak lagi bentuk objek hukum sasi yang lain. Hukum sasi memiliki dampak positif bagi hubungan manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan alam. Bentuk harmonisasi dalam menciptakan keseimbangan kehidupan. Ada empat aspek penting yang dapat kita pelajari dari hukum sasi. Pertama, Aspek budaya dan kepercayaan. Sasi berhubungan erat dengan konsep kepercayaan atas kekuatan alam, roh-roh leluhur dan agama. Kedua, Aspek politik dan administrasi. Pelaksanaan Sasi memerlukan pelembagaan atau organisasi yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat lewat mekanisme adat. Ketiga, Aspek ekonomi. Sasi adalah bagian dari sistem ekonomi dan sistem pengelolaan sumberdaya alam. Sasi membatasi eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Serta dapat menjadi semacam tabungan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Keempat, Aspek ekologi. Sasi memperhatikan pengelolaan sumberdaya alam yang menjunjung tinggi kesinambungan ekosistem dan kelestarian lingkungan.


Kesimpulan

Saya percaya, masih banyak kearifan lokal lainnya yang dapat digali dan diterapkan dalam upaya pengembangan masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Kearifal lokal tentunya menjadi solusi alternatif di tengah buntunya peran struktural pemerintah. Adaptasi pengembangan masyarakat berbasis kearafan lokal juga dapat berfungsi sebagai benteng di tengah derasnya arus modernisasi yang mengancam eksistensi budaya lokal.

Sampai pada titik inilah, nasional(isme) bagi kami sebagai anak pesisir bukanlah semata dimaknai sebagai patriotisme dan pengabdian pada bangsa. Nasional(isme) bagi kami adalah sesuatu yang begitu dekat, sangat dekat sekali. Kami bahkan merasakannya mengalir dalam aliran darah kami. Nasional(isme) bagi kami adalah melestarikan lingkungan milik anak cucu yang saat ini sedang dititipkan pada kami. Pantai, laut, terumbukarang, ikan, teripang, mutiara dll, semuanya adalah titipan yang harus kami jaga dan untuk dikembalikan kepada anak cucu kami. Tugas yang terlampau berat tentunya, tetapi kami dapat berbesar hati karena memiliki kekuatan adat (kearifan lokal). Warisan budaya leluhur yang harus kami junjung tinggi, kami jalankan dan kami patuhi bersama. Seperti pesan para tetua-tetua adat, pesan yang kami yakini sampai detik ini. Laut adalah saudara laki-laki, sesama saudara harus saling menjaga dan mengasihi, maka hiduplah dari alam tetapi jangan lupa untuk menghidupi alam.



Jogjakarta,Senin 20 September 2010
Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)

Ilusi Nasional(isme)


Ilusi Nasional(isme)


Oleh: Gafur Djali


Oktober adalah histeria, momentum mempertanyaakan ulang substansi eksistensi nation-state. Pengalaman historis delapan puluh dua tahun lalu kini mulai ditelisik ulang, sebagai konstruksi dialektis nation-state. Dan mungkin essay ini bisa jadi adalah bagian dari histeria tersebut.

Berangkat dari identitas budaya lokal. Identitas budaya lokal dalam pemahaman saya adalah modal dasar dalam menyusun fondasi kekuatan identitas nasional. Tanpa itu semua akan sangat sulit untuk membayangkan integrasi sosial yang utuh dalam kerangka nation-state bernama Indonesia. Saya memandang loyalitas atau cinta terhadap identitas budaya lokal, tidak dimaknai sebagai bentuk resistensi budaya satu atas yang lainnya. Namun, lebih befungsi sebagai media agar terjadi dialog antar budaya, lewat pengkajian, pengkayaan dan keterbukaan. Mungkin istilah populernya adalah transformasi sosial-budaya berdasarkan pada kearifan local (local wisdom).

Bayangkan, saat ini kita hidup dalam zaman yang anarki, tidak mengenal kompromo. Bertahan atau digilas zaman, mungkin sudah menjadi adagium umum yang berkembang di masyarakat. Derasnya arus modernisasi dan industrialisasi secara perlahan tapi pasti mulai mengerus tatanan masyarakat bahkan pada tatanan yang adhiluwung, atau filosofis sekalipun.

Kita mungkin dapat sedikit bernafas lega. Karena dalam simpang zaman ini, kita masih punya modal sosial yang dapat dikelola untuk membangun karakter bangsa. Saya tidak dapat membayangkan, ketika nilai-nilai kultur budaya lokal mulai tergerus zaman dan generasi berikutnya lebih mengenali budaya hasil (produksi) globalisasi dan industrialisasi. Suatu masa ketika kita sudah kebingungan menemukan tempat bertanya dan mulai kehilangan identitas sejati.

Lantas, kepada siapa kita akan bertanya tentang ke-khasan budaya lokal? Ketika masyarakat lokal (kita sendiri) mulai lupa atau tidak tahu sama sekali dengan budaya lokal kita masing-masing. Kepada siapa kita bertanya, bagaimana Kapal Pinisi Bugis dibuat sehingga kuat seperti karang mampu menjelajahi tiap tepian samudera? Kepada siapa kita akan bertanya tentang Adat Pela-Gandong di Maluku? Yang telah mampu membangun kerukunan dan keharmonisan umat beragama. Atau, kepada siapa kita bertanya bagaimana resep memasak Gudeg Jogja yang paling enak? Atau mungkin suatu saat nanti, kesemuanya hanya akan menjadi ritus sejarah yang hanya dapat ditemukan lewat arsip-arsip perpustakaan atau pada pigura-pigura foto yang terpampang di museum.

Saya sangat berharap, bahwa generasi saat ini (saya sendiri) mampu menjawab tantang tersebut. Setidaknya, pada titik paling pragmatis adalah kita mau belajar budaya lokal masing-masing. Meletakan sebagai falsafah hidup dan bukan sebagai pemahaman ilmu pengetahuan belaka. Sulit kirannya kita menunggu atau menuntut Negara (pemerintah) untuk peduli. Karena saya merasa, sampai saat ini pemerintah terkesan melepas tangan dan kurang peduli pada permasalahan di atas. Kalaupuan ada, kepedulian tersebut didorong oleh semangat industri budaya yang dikemas dalam paket-paket wisata. Wal hasil, untung rugi ekonomilah yang kemudian menjadi patokan. Saat ini, saya lebih percaya bahwa suatu proses mengubah (perubahan) adalah kekuatan kita merangkul dan bersama-sama membangun dari bawah, memulai dengan apa yang kita miliki dan sesuatu yang kita bisa kerjakan.

Refleksi mendasar tentang jatidiri kita sebagai bangsa sampai pada pemahaman asalmula alasan Indonesia terintegrasi menjadi nation-state dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia sebelumnya bukan hanya dipandang sebagai komunitas terbayang belaka. Namun, lebih dari itu. Indonesia belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sedari pemunculan ide Indonesia, proklamasi, bahkan sampai terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu pencapaian monumental yang saya yakini belum pernah dicapai dalam sejarah modern umat manusia.

Mungkin pandangan saya hanyalah ilusi belaka. Tapi izinkan saya untuk sampaikan bahwa sampai detik ini saya masih belum dapat membayangkan bagaimana mungkin suatu gugusan kepulauan dengan latar belakan etnis, bahasa, budaya dan sejarah berbeda memilih untuk menjadi Indonesia? Bila jawabannya adalah integrasi kita dalam Negara Indonesia dilandaskan atas samarasa akibat keterpurukan kolonialisme. Saya pikir jawaban itu sama artinya mengiyakan praktek kolonialisme. Karena tanpa kolonialisme Indonesia tidak ada, maka berterimakasilah pada kolonialisme, karena berkat merekalah Indonesia di proklamirkan. Atau, ada jawaban lain. Karena kita dulunya pernah ada dalam satu wilayah Dipantara ketika kejayaan Sriwijaya dan Nusantra ketika kejayaan Majapahit. Saya juga masih sangsih dengan klaim historis tersebut. bagaimana tidak, integrasi wilayah ketika masa Sriwijaya dan Majapahit berlangsung dalam skema penjajahan Sriwijaya atau Majapahit untuk perluasan teritorinya. Proses intergrasi tersebut menyimpan banyak luka sejarah karena berlangsung di bawah tekanan. Bila anda tidak mengakui Sriwijaya atau Majapahit itu sama artinya anda menyatakan perang, dan bersiaplah untuk apa yang anda bangun hannya tinggal cerita. Mungkin begitulah kira-kira ilustrasi sederhananya.

Berawal dari suatu konsensus bersama (good will) untuk membentuk suatu tata kehidupan yang lebih baik dan pelimpahan kekuasaan (pengakuan kedaulatan) oleh kekuasaan lokal untuk menyatakan diri menjadi bagian dalam nation-state. Dua hal inilah yang dipandang sebagai dasar terbentuknya Indonesia. Maka, Integrasi sosial-politik dalam kerangka nation-state kemudian diletakan sebagai suatu proses. Proses menjadi Indonesia. Suatu proses untuk berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam budaya, setidaknya itulah tiga butir pokok cita-cita nasional (national building).

Sulit membayangkan suatu bangsa yang besar baik secara teritorial maupun cita-cita bangsa tersebut, tanpa kita menyentuh pada sisi yang paling asali, yaitu nasional(isme). Saya tidak mau terjebak pada kritik kita atas nasional(isme) simbolik yang berkembang belakangan ini. Saya percaya sepenuhnya bahwa nasional(isme) itu perlu sebagai pengikat yang bersifat imatrial (filosofis). Nasional(isme) tersebut bukan semata bicara soal rasa, loyalitas atau simbol. Tetapi, nasional(isme) dalam pemahaman saya adalah kepedulian dan kemampuan untuk membangun. Berawal dari membangun diri dan mengelola lokalitas atau komunitas yang paling terkecil sekalipun di daerah lingkungan kita masing-masing, terutama masyarakat lokal dengan kearifan budayanya.

Perkembangan situasi belakangan cukup menyudutkan masyarakat lokal terutama kearifan budaya-nya. Pranata atau norma-norma yang berkembang di masyarakat, yang kemudian kita kenal sebagai hukum adat terkadang mulai diabaikan. Dalam kacamata hukum positif, posisi hukum adat sangatlah lemah. Atau, saya lebih sepakat posisi hukum adat dilemahkan. Alasannya karena dalam hukum adat tidak terdapat ukuran-ukuran normatif yang mampu dijadikan patokan dalam penegakan hukum. Sungguh suatu pengebirian yang mematikan karakter masyarakat lokal. Hukum adat adalah pranata sosial yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan roh-roh leluhur dan manusia dengan Tuhan. Kekayaan hukum adat inilah yang belum mampu dimaknai atau diterjemahkan oleh hukum positif yang kita adopsi dari hukum Eropa kontinental atau lebih tepatnya Belanda.

Pada satu sisi, perkembangan globalisasi yang melahirkan industrialisasi telah sedikit banyak mengerus nilai-nilai lokal. Sedangkan pada sisi lain, negara yang dibangun atas daulat rakyat dan sebagai pelindung rakyat juga tidak mampu berbuat banyak. Negara terkadang lebih memihak pada pakem-pakem globalisasi dan industrialisasi. Sebagai dalih untuk pembangunan dan kesejateraan rakyat. Namun, mengerus nilai-nilai lokal masyarakat itu sendiri.

Pada titk inilah. Menjadi suatu keniscayaan ketika kita menuntut kepada Negara untuk adil. Adil dalam hal melindungi pranata sosial masyarakat lokal dan mensejaterakan rakyat lewat pembangunan yang berkeadilan. Pembangunan yang melibatkan peran aktif masyarakat secara keseluruhan. Bukan sakadar menuntut warga negara untuk memiliki rasa nasional(isme) sedangkan Negara dalam kebijakan-kebijakannya justru menghilangkan nilai nasional(isme) yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Ataukah, nasional(isme) hanya ilusi belaka?



Jogjakarta. Senin,18 Oktober 2010


Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.

(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)

Kebijakan Agraria dan Koorporatisasi Pertanian (food estate)

Oleh: Gafur Djali

Control oil and you control the nations, Control food and you control the people.

“Henry Kissinger”


Industri pertanian sudah menjadi bisnis dengan prospek paling menjanjikan dewasa ini. Sebelumnya, mungkin industri pangan hanya selalu dipandang sebelah mata. Kita cenderung mengamini, bahwa investasi di pasar finansial, telekomunikasi-informasi, farmasi, industri pertambangan dan perminyakan adalah cabang-cabang produksi yang akan mendatangkan keuntungan berlipat. Sekarang anasir-anasir tersebut mulai runtuh dan industri pertanian menjadi salah satu kekuatan industri dunia.

Hukum ekonomi “permintaan-penawaran” jadi pakem dasar. Kebutuhan pangan dunia terus meningkat dari tahun ketahun, peningkatan tersebut ternyata belum dibarengi dengan kapasitas produksi memadai. Pertumbuhan manusia dan mulai menyempitnya lahan-lahan pertanian, baik akibat alih fungsi lahan atau akibat global warming, merupakan faktor pendorong sehingga industri pertanian menjadi primadona. Pesatnya perkembangan industri pertanian dipicu oleh dua faktor utama yaitu meningkatnya permintaan pangan dunia dan pengadaan energi alternatif (biofeul).

Dalam peta industri pertanian global, Indonesia merupakan salah satu primadona untuk investasi pertanian tersebut. Pada satu sisi, lahan pertanian Indonesia terkenal subur dan masih cukup luas untuk membangun industri pertanian raksasa. Selain itu, dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar potensial di Asia Tenggara. Posisi strategis Indonesia inilah yang membuat perusahan-perusahan multinasional (MNC), perusahan transnasional (TNC) maupun afiliasi perusahaan nasional dan perusahaan asing, memberanikan diri untuk mendirikan mega proyek industri pertanian.

Dayung bersambut, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengakomodir kepentingan pengusaha tersebut dengan meluncurkan program koorporatisasi pertanian (food estate). Payung hukumnya adalah UU Penanaman Modal No.25/2007 dan dipertegas dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No.18/2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman skala luas. Food Estate adalah konsep pengembangan produksi pangan yang terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang terintegrasi dalam satu wilayah yang sangat luas.

Pada PP No.18/2010 mengatur beberapa hal, di antaranya tentang batasan kepemilikan saham asing yaitu maksimal 49% dan perusahaan dalam negeri sebesar 51%. Selain itu, juga mengatur tentang HGU (hak guna usaha), selama 35 tahun. Namun, investor dapat memperpanjang HGU-nya dua kali yaitu selama 35 tahun dan perpanjangan selanjutnya selama 20 tahun. Jadi, total HGU yang dapat dimaksimalkan oleh investor adalah selama 90 tahun. Suatu rentan waktu yang sangat lama mendekati satu abad. Sedangkan, ketentuan HGU tersebut tidak berlaku untuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah hanya berlaku untuk swasta asing maupun swasta nasional.

Program food estate mengkonsentrasikan pada pengembangan wilayah Indonesia timur. Contoh riil dari program food estate yang sedang dikembangkan adalah di kabupaten Merauke, Papua, lewat program MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Apa alasan pemerintah memilih Merauke? Dengan luas kawasan sekitar 45.071 km2, lahan potensial seluas 2,5 juta ha, terdiri dari lahan basah 1,93 juta ha dan lahan kering 0,55 juta ha serta didukung dengan jumlah penduduk sekitar 183.945 jiwa, maka dari aspek geoekonomi maupun geostrategi mempunyai nilai ekonomi dan daya saing internasional cukup tinggi. Merauke kemudian oleh pemerintah dijadikan sebagai pionir Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di bidang pangan dan energi alternatif. Mirip dengan yang pernah dilakukan oleh Belanda dengan proyek Padi Kumbe-Kurik sejak tahun 1939 sampai tahun 1958.

Pemerintah memprediksi membutuhkan dana investasi sebesar Rp.50-60 triliun untuk program food estate di Papua. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, bahwa industri pertanian adalah primadona investasi. Program MIFE Menjadi rebutan, layaknya para jejaka berebut mempersunting bunga desa. Tidak tangung-tanggung, ada sekitar 36 investor yang siap masuk, 28 investor dari dalam negeri dan sisanya investor asing. Beberapa investor asing yang siap masuk antara lain adalah dari Timur Tengah, Jepang, Brazil, AS, dan Eropa untuk pengembangan lahan padi, tebu, kedelai, dan lain-lain. Nama-nama beken seperti Bin Laden Group, PT Medco Papua Industri Lestari Medco Group, perusahaan milik Arifin Panigoro. Artha Graha Network melalui anak usaha PT Sumber Alam Sutera (SAS) milik Tommy Winata dan kelompok Bakrie Group milik Aburizal Bakrie adalah perusahaan yang telah siap berinvestasi di Merauke, Papua.

Food estate dalam kacamata pemerintah adalah upaya untuk menciptakan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan nasional akan tercipta bila pembukaan lahan baru dengan model pertanian skala besar yang bertumpu pada industri pertanian. Langkah tersebut adalah skema pemerintah untuk produksi pertanian yang berkesinambungan dalam skala besar. Harapannya akan mampu memenuhi stok nasional maupun kebutuhan pangan dunia. Selain untuk kebutuhan pangan, food estate juga diperuntukkan untuk menjawab permintaan dunia atas kebutuhan energi nabati di tengah makin mahal dan berkurangnya energi fosil. Sumber energi alternatif yang terbaharukan untuk kebutuhan ekspor yang semakin meningkat tiap tahunnya.

Ketahanan pangan dalam pandangan pemerintah adalah kemampuan pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan dan kemampuan masyarakat untuk mengakses kebutuhan pangan tersebut. Tolak ukurnya adalah kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan pangan. Jadi, bertumpu pada kekuatan konsumsi masyarakat. Sederhananya, bila pemerintah mampu menjamin ketersediaan pangan untuk konsumsi masyarakat dan masyarakat mampu membelinya (harganya terjangkau) maka dapat dikatakan ketahan pangan nasional dalam posisi aman. Agar supaya harga pangan dapat terjangkau, dan pemerintah mampu menjamin ketersedian stok, maka dibutuhkan produksi massal skala luas. Semakin banyak barang yang diproduksi secara masal dalam waktu bersamaan, maka akan semakin murah harga barang tersebut. Dan, skema tersebut adalah Food estate dengan MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) sebagai eksperimentasi awal. Harapan pemerintah, Food estate akan menciptakan kemakmuran dan kesejateraan karena kebutuhan pangan semakin terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat luas.

Perdebatan dan Kontroversi

Dalam hemat saya, pandangan pemerintah tersebut cukup ambigu. Pertanyaan saya sederhana. Bagaimana mungkin tercipta kesejateraan tanpa diimbangi dengan kempuan masyarakat untuk berproduksi? Karena dengan produksi dapat memompa pendapatan masyarakat, sehingga tingkat kesejateraan meningkat seiring dengan produktifitas produksi masyarakat yang meningkat pula. Peningkatan pendapatan secara perlahan akan meningkatkan daya beli. Apa sebenarnya yang menjadi tolak ukur kesejateraan? Kesejateraan mengandung makna yang cukup bias. Saya akan melihatnya dari kacamata normatif. Apakah kesejateraan diukur dari tingkat konsumsi (daya beli) atau tingkat produksi (pendapatan)? Contohnya begini, bila anda tidak punya pekerjaan, maka anda tidak punya pemasukan. Seratnya pemasukan membuat barang semurah apapun tidak terbeli, karena anda tidak punya uang. Taraf hidup anda kemudian menjadi dibawah standart kelayakan. Jadi, anda tidak punya pilihan lain selain bekerja agar anda dapat mengontrol pemasukan. Dengan bekerja maka anda dapat menghasilkan sesuatu. Semakin tinggi tingkat produktifitas kerja, maka semakin tinggi pendapatan yang anda peroleh. Walhasil, dengan pendapatan tinggi maka dapat merangsang daya beli, termasuk pangan.

Itu tadi pandangan subjektif saya, yang lebih menitikberatkan tingkat kesejateraan pada tataran produktifitas (pendapatan) masyarakat. Ternyata, pemerintah justru berasumsi sebaliknya, mengukur tingkat kesejateraan pada tataran konsumsi. Dalam hukum ekonomi dari klasik sampai kontemporer semuanya mengamini bahwa hal utama dalam menciptakan kesejateraan adalah tinggi-rendahnya produktifitas atau tinggi-rendahnya pendapatan masyarakat. Kita mungkin dapat belajar dari pengalaman negara lain yang pengembangan agraria atau pertaniannya dapat di nilai sukses. Negara-negara seperti Vietnam, Thailand bahkan Amerika yang katanya dedengkot liberalisme, ternyata mereka semua adalah pembela petani sejati. Petani diberikan akses pasar dan bantuan modal, segala hambatan untuk bertani diselesaikan lewat kebijakan pemerintah. Selain itu mereka juga membatasi impor pangan agar harga pangan hasil petani dalam negeri dapat di jual dengan harga yang layak. Akhirnya, negara-negara tersebut mampu menciptakan kesejateraan untuk pada petaninya.

Pergeseran Nilai

Keadaan di Indonesia tak semesra itu. Dengan adanya Pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant-based agriculture (pertanian berbasis-desa) dan family-based agriculture (pertanian berbasis-keluarga) menjadi corporate-based food (perusahaan berbasis pangan) dan agriculture productio (produksi pertanian). Saya menyadari sepenuhnya bahwa ada beberapa terobosan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Tetapi sangat disayangkan pemerintah justru mendorong program food estate. Padahal, dalam hemat saya permasalahan utama dunia pertanian kita adalah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Akses masyarakat atas tanah semakin sulit sehingga masyarakat tidak mempunyai kesempatan melakukan produksi. Selain itu, banyak persoalan agraria yang belum terselesaikan seperti alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan, perumahan, jalan atau industri.

Pergeseran tersebut, menurut saya dapat semakin menyudutkan petani. Petani kemudian dihadapkan langsung dengan perusahan-perusahan raksasa yang dengan kekutan modal besar dan dukungan penuh pemerintah dapat memproduksi dalam skala besar. Sedangkan petani seakan masuk dalam labirin kehidupan (produksi) yang rumit. Petani kita selalu dihadapkan dengan persoalan klasik seperti semakin menyempitnya lahan pertanian, bibit mahal, pupuk langka, produksi menurun, dan bila panen tak jarang harga pangan justru turun terjun bebas karena banjir impor. Sehingga petani seperti Pak Marhein ketika Soekarno masih muda sampai petani detik ini, masih saja terbelit dengan persoalan-persoalan yang saya kira masih serupa. Seakan tidak ada jalan keluar untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan harkat hidup masyarakat tani.

Ijinkan saya mengutip pandangan alternatif organisasi buruh tani dan petani internasional La Via Campesina di mana SPI (serikat petani Indonesia) juga tergabung di dalamnya: Esensi dari kedaulatan pangan (food sovereignty) didefinisikan sebagai hak sebuah negara dan petani untuk menentukan kebijakan pangannya. Meletakan prioritas pada produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin ketersediaan tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping. Kedaulatan pangan adalah bahwasanya para buruh tani dan petani berdaulat dalam menentukan pemilihan cara produksi, jenis teknologi, hubungan produksi, distribusi hingga menyangkut masalah keamanan pangan. Karena itu, kedaulatan pangan mendorong semua jenis aktivitas produksi pangan harus dikerjakan oleh para petani itu sendiri, sehingga yang dinamakan kedaulatan pangan dimiliki oleh petani bukan oleh pengusaha.

Ketahan pangan saja tidak cukup untuk menjawab persoalan kesejateraan kaum tani dan manusia Indonesia secara keseluruhan. Karena konsep ketahanan pangan yang kita adopsi sekarang sangat menguntungkan pengusaha (investor) dan menyudutkan petani kecil. Bila kita coba sempitkan pada persoalan pangan dan agraria, maka tidak ada ketahanan pangan nasional sejati bila tidak dibarengi dengan kedaulatan pangan (food sovereignty) dan kedaulatan pangan akan terwujud bila ada kedaulatan agraria.

Kedaulatan Agraria

Sekilas, kebijakan food estate mengingatkan saya pada kebijakan masa kolonial Belanda lewal Agrarische Wet No.55 dan Agrarisch Besluit No.118 tahun 1870 atau undang-undang agrarian. Salah satu aturan pokoknya adalah pengaturan hal milik tanah yang di dominasi oleh colonial. Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit kemudian menjadi legitimasi liberalisasi pertanian dengan masuknya perusahaan-perusahaan internasional. Ketika itu, banyak berkembang perkebunan seperti teh di Jawa Barat, gula di Jawa Tengah, karet dan tembakau di Sumatra, kopi Sulawesi dll. Selain itu, terjadi penyempitan lahan (tanah) karena tanah-tanah warga atau tanah adat atas desakan pemerintah Kolonial dialih fungsikan sebagai perkebunan atau pabrik yang kesemuanya di kontrol oleh pemilik modal (investor). Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit bukan saja menjadi mimpi buruk bagi petani ketika itu, tetapi merupakan salah satu bentuk eksploitasi sistematis atas sumberdaya alam dan manusia.

Dampak yang ditimbulkan tidak kalah hebatnya. Secara historis, kemunculan Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit menciptakan pergeseran pola produksi pertanian yang awalnya berbasis pada pengelolaan tanah secara bersama untuk kebutuhan hidup keluarga, desa atau petani. Berubah menjadi model produksi pertanian berbasis industri yang di kontrol oleh investor dan posisi petani bergeser menjadi buruh tani karena tanah garapannya telah hilang. Secara politik, ekonomi, sosial-budaya, kehadiran Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit adalah kutukan yang sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, sadar atau tidak, masih kita rasakan mewarnai dunia agraria Indonesia.

Menurut ekonomi senior Sritua Arif, dikutip dari Bonnei Setiawan dalam bukunya Globalisasi Pertanian. Sritua Arif menyatakan bahwa, Kebijakan ekonomi Indonesia dan proses ekonomi yang mengikutinya telah berjalan di atas suatu struktur ekonomi warisan kolonial...dulu dikembangkan dan diperkuat untuk melayani negara-negara asal pihak penjajah dan sektor massa agraris merupakan neglect area (area terabaikan) dan sumber kuli murahan... diatas struktur dan situasi inilah kebijaksanaan ekonomi Indonesia selama ini telah dijalankan sehingga pada hakekatnya sadar atau tidak sadar sebetulnya kita telah memperkuat dan mengembangkan struktur ekonomi warisan kolonial.

Saya pikir, pendapat tersebut masih cukup beralasan bila kita membandingkannya dengan seksama kebijakan-kebijakan pemerintah sekarang yang cenderung menguntungkan investor atau pengusaha ketimbang nasib petani. Food estate adalah salah satunya. Persoalan mulai muncul ketika alih fungsi lahan terjadi. Dampak sosiolagis dan ekologis akan menjadi ancaman serius. Pembukaan lahan dengan penebangan hutan tentunya akan menghadirkan ketidak seimbangan ekologi dan ujung-ujungnya akan berdampak pada bencana ekologis, seperti banjir, erosi, atau kekurangan air bersih. Selain, itu kita juga harus mengukur dampak sosiologis, terutama untuk masyarakat adat yang ternyata merasa terusik dengan program tersebut. Karena lahan untuk food estate

merupakan tanah adat yang disakralkan dan dilindungi oleh masyarakat. Belum lagi kita mengukur dampak struktural yang ditimbulkan. Khusunya tentang pergeseran pola pertanian nasional dan peta persaingan antara petani tradisional dengan industri skala raksasa.

Kembali pada UU Pokok Agraria 1960

Saya sedikit menyinggung tentang pengalaman historis kita sebagai suatu nation-state. Pasca kemerdekaan, para founding father menyadari struktur warisan kolonial yang sedang diwarisi oleh negara pasca kolonial. Khususnya pada bidang ekonomi-politik terkait persoalan agraria di Indonesia pasca diterbitkanya Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit. Wal hasil, Lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan Soekarno mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Adalah payung hukum agraria dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial. Perombakan tersebut untuk menghilangkan unsur-unsur diskriminasi masal yang secara struktural telah diidap selama ratusan tahun.

Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar, bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemaknaan “dikuasai oleh Negara” bukan dalam pengertian bahwa warga Negara menyerahkan tanahnya kepada Negara, namun pada tatacara pengelolaan wilayah sebagai suatu tertib administrasi. Negara sepenuhnya menghormati kepemilikan individu atas tanah atau kepemilikin tanah skala luas lewat tanah ulayat (tanah adat). Negara kemudian memposisikan diri sebagai pelindung atas sumberdaya produktif agar tidak jatuh ketangan asing atau individu yang berpotensi akan menyempitkan ruang gerak dan pendapatan masyarakat.

UUPA 1960 menyatakan bahwa, Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Artinya Negara secara tegas melindungi kepentingan dan kedaulatan kepemilikan dan pengelolaan tanah. Anda bisa bayangkan, bila tidak ada mekanisme pengontrolan atas tanah maka sudah dapat dipastikan akan muncul persoalan tata rung yang serius. Hutan sebagai sumber mata air bisa berubah menjadi industry kayu sehingga terjadi krisis air, banjir atau tanah longsor karena terjadi pengundulan hutan. Atau, lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan, sehingga produksi pangan akan menurun dan berdampak pada tingginya harga pangan sehingga sukar di jangkau oleh masyarakat. Mungkin itu sekelumit persoalan, bila tata ruang tidak dapat dikelola dengan bijaksana.

UUPA 1960 hadir untuk memberi jalan dalam pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa secara bijaksana. Agar kedaulatan dan kemakmuran rakyat bisa ditentukan oleh rakyat itu sendiri dengan bantuan atau difasilitasi oleh pemerintah sesuai amanat konstitusi. Amanat Konstitusi Negara (UUD) menyatakan bahwa, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan yang disusun dalam satu skema besar atau nasional. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip demokrasi ekonomi sebagai jawaban yaitu keadilan masyarakat dalam berproduksi.

Masyarakat memiliki hak untuk mengelola sekian sumberdaya alam, tentunya harus didukung oleh Negara sebagai pelaksana daulat rakyat. Sayangnya UUPA 1960 secara dejure masih ada, namun secara vacto tidak pernah dilaksanakan. Pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto berdampak pada terabaikannya UUPA 1960. Proses de-Soekarno-isasi dan derasnya arus liberalisasi ekonomi dengan jargon developmentalism (pembangunan) membuat segala sesuatu termasuk undang-undang yang dikeluarkan semasa Soekarno dan menutup keran liberalisasi ekonomi (masuknya modal asing) diacuhkan atau bahkan dihilangkan secara dejure maupun secara vacto oleh rezim Soeharto.

Bila memperhatikan karakter kebijakan agraria saat ini. Terutama dengan diterbitkannya program food estate dan dibandingkan dengan karakter kebijakan agraria zaman kolonial. Maka, saya sampai pada pemahaman yang cukup menyesakan hati. Suatu kenyataan historis yang ternyata sungguh sanggat menciderai daulat rakyat yang tertuang dalam amanat konstitusi. Bahwa secara mendasar, suka atau tidak suka, kenyataan sejarah menunjukan bahwa karakter kebijakan agraria saat ini tidak ada bedanya dengan kebijakan agrarian zaman colonial. Meski kemerdekaan sudah diproklamirkan puluhan tahun yang lalu tapi kebijakan masih saja bersifat kolonialistik. Ini adalah pekerjaan rumah yang cukup berat. Tantangan zaman yang harus dijawab oleh generasi kita saat ini, dalam upaya menyusun spirit dan karakter bangsa yang berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya.