Wawancara Imajiner dengan Bung Pram


Kita tidak pernah berjumpa apalagi saling sapa, namun kau serasa hidup menyatu dalam pikiran dan hari-hari ku. Aku selalu merindukan dapat bertemu dengan mu. Meski aku sadar itu hal yang mustahil. Aku mengenalmu lewat anak-anak rohani yang kau goreskan. Kau telah mengajarkanku banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Kau adalah Kakek sekaligus guruku. Bapak bangsa yang telah mendedikasikan hidup pada dunia kesusastraan Nusantara dan dunia. Lewat anak ruhanimu aku melepas rindu. Namun kali ini berbeda, kau datang dan kita berbincang sesaat.







T: Bung dinilai sangat anti terhadap orde baru, Kenapa?

Pram: Dalam kekuasaan orebaru ini saya tidak punya kebebasan, sebagai warganegara saya tidak merasa aman sehinga negara bagi saya sekarang ini adalah sekeliling pagar rumah ini, itulah negara saya.
Dalam 50 tahun kemerdekaan, 33 setengah tahun dirampas kebebasannya sampai detik ini. Saya menjadi orang tanpa kebebasan dalam 50 tahun kemerdekaan Nasional jadi kalau saya punya sikap yang keras, saya kira itu wajar.
Saya menghargai tinggi kewarganegaraan saya karena kewarganegaraan saya tidak diperoleh dengan gratis. Tapi dengan berkelahi sejak orang tua sampai saya, untuk kemerdekaan saya, untuk kemerdekaan Indonesia.


T: Orde baru memposisikan Bung sebagai musuh politik. Orba berbuat demikian karena menilai Bung sebagai bagian dari PKI dan ketika di Lentera Bung dekat dengan Soekarno?

Pram: Kegiatan saya waktu Lentera itu, menjadi tangung jawab saya pribadi, baik dalam polemik maupun mendukung dan membantu Soekarno. Semua saya lakukan dengan sadar sebagai tugas nasional saya waktu negara dalam bahaya.
Ada distorsi selama ordebaru, Lekra itu ditampilkan sebagai organisasi bandit. Sekarang ini saya dianggap berdosa dan tingkah, saya dikecam, saya tidak merasa berdosa, saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai warganegara Indonesia, sebagai manusia, dan sebagai pengarang.
Saya itu seorang individualis tidak mau diperintah, dan tidak bisa memerintah. Banyak hal tidak bisa kompromi dan terus menentang untuk tetap menjadi diri sendiri. Saya memang memberontak untuk segala-galanya, sebap itu saya rasai sebagai penindasan bagi diri saya, terhadap kesadaran saya. Orang mengangkat atau menuduh saya sebagai PKI silahkan saja, Pram adalah Pram, lain tidak!


T: Bung dikenal sebagai penulis yang tajam dan konsisten. Hal tersebut tertuang dalam karya-karya bung. Bagamana bung memaknai ini?

Pram: Kalau saya bilang pengarang itu corps avan guarde, bukan penghibur. Seorang avan guarde selamanya berada dalam keadaan berontak terhadap sesuatu yang mengurangi harga manusia, yang menindas, yang tidak adil, dan melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya. Kalau takut jangan jadi pengarang!
Karya-karya sendiri ini, bagi saya itu sama dengan anak-anak saya sendiri. Begitu tercetak turun dari mesin dia akan menempuh hidupnya sendiri. Ini anak-anak rohani saya menempuh hidupnya sendiri dalam masyarakat sosial-budaya. Mungkin ada yang umurnya pendek, mungkin ada yang panjang, mungkin ada yang abadi itu adalah nasib mereka masing-masing.

T: Bung memiliki gaya menulis yang khas, gaya menulis yang sangat jarang ditemuai. Siapa yang mempengaruhi gaya menulis bung?

Pram: Waktu saya dalam tahanan belanda. Saya pelajari tulisan Idrus dan saya nilai dia seorang stylis yang tidak tertandingi juga sampai sekarang dan jadi saya angap dia sebagai guru besar saya. Suatu kali saya datang ke Balai Pustaka sebelum saya jadi redaktur di situ. Duduk-duduk dengan redaksi lantas idrus datang, pakai baju putih celana putih. orang memperkenalkan saya pada idrus,
ini Pram bung idrus...
oh… ini Pram? langsung Idrus bilang
kau tidak menulis Pram kau itu berak!
Itu ucapan guru saya, guru besar saya dan saya baru saja muncul di dunia sastra Indonesia. Saya simpan saja dalam hati, saya tidak pernah mengucapkan yang seperti ini juga sama dia sampai dia meningal juga tidak pernah.


T: Menulis itu tidak mudah, bila melihat karya-karya Bung maka siapapun yang membaca menilai tulisan Bung memiliki kedalaman makna dan penuh dengan pesan-pesan kemanusiaan. Lantas, bagaimana ceritanya awal perkenalan bung dengan dunia tulis-menulis dan kapan pertamakali Bung menulis?

Pram: Sejak kecil saya menderita, perasaan rendah diri, kompeks inverior, ini berasal dari rumah sendiri maupun di luar rumah, dalam rumah sendiri itu disebapkan karena ayah saya waktu sekolah selamnya menjadi bintang kelas. Sekolah dasar Institute Budi Utomo tujuh tahun itu saya tamatkan sepuluh tahun artinya tiga kali tidak naik kelas. Sehingga ayah saya itu kecewa sekali. Karena minder itulah juga pergaulan saya lebih banyak denga anak-anak buruh tani di sekitar rumah saya, di situ baru saya merasa sederjat. Karena minder inilah saya tidak berani menyatakan pendapat di luar teman-teman yang anak buruh tani atau tani kecil. Karena tidak berani menyatakan pendapat itu saya menulis. Saya mencurakan pikiran dan perasaan saya melalui tulisan, jadi saya menulis sejak di sekolah dasar.

T. Bung katakan bahwa bung terjebak dalam situasi kompleks inverior. Nah, bagaimana bung menghilangkan perasaan tersebut?

Pram: Di Belanda inilah suatu kali saya bertemu dengan Noni Belanda. Berpacar-pacaran sampai pada hubungan seks. Pertama kali melakukan hubungan seks dengan orang Belanda. Ternyata perasaan inverioritas itu lenyap sama sekali. Saya merasa sederajad dengan siapapun, setelah melakukan hubungan seks dengan orang Belanda, dan sampai sekarang saya masih merasa berterimakasih kepada pacar Belanda saya.


T: Apa pengalaman Bung ketika kecil yang tidak bisa Bung lupakan sampai sekarang?

Pram: Waktu saya lulus sekolah dasar Institute Budi Utomo saya merasa berhak untuk meneruskan sekolah, dan saya bilang begini,
Ayah.. saya ingin meneruskan sekolah yang baru dibuka di Madiun
dan jawaban Ayah yang keras begini,
Anak bodoh kembali ke sekolah dasar!
jadi waktu tahun pengajaran buru saya kembali ke sekolah yang saya telah tamatkan. Guru saya waktu itu Menir Amir namanya khusus datang pada saya dan bertanya, Kenapa kau kembali kemari? (dia tanya saya dalam bahasa Belanda)
Engkaukan sudah tamat dari sini.
Tanpa ngomong apa-apa saya kumpulkan kertas saya semua, saya bawa, saya tinggalkan kelas itu tanpa ngomong apa-apa dan pulang. Kalau pulang melalui kuburan, di kuburan itu saya taru kertas-kertas saya. Saya pegang pohon jarak dan saya menjerit. Saya masih keluar keluar air mata kalau ingat saat itu. Saya merasa seorang diri, seperti biasanya saya merasa seorang diri. Tapi pada waktu inilah saya sangat seorang diri, tidak ada tangan yang diulurkan pada saya.

T: Ketika dalam tahanan Jepang Bung sempat putus asa. Sampai Bung merasa menemukan titik balik dalam kehidupan, Sehingga membuat Bung seperti dilahirkan kembali. Bagaimana ceritanya?

Pram: Memang saya putus asa. Waktu itu saya sudah menerbitkan beberapa cerpen dan buku, tahun 47 itu sudah menerbikan saya. Ini terjadi pada tahun 48. Jadi dalam keadaan putus asa saya jalankan patiraga lagi. Sekali ini bukan pemusatan tapi penghilangan diri. Dalam hati saya bilang,
Tuhan kalau saya tidak diperguankan dalam kehidupan ini ambilah nyawa saya.
Jadi itu sebetulnya usaha bunuh diri. Hari ke-empat saya duduk menghadap tembok, bersedia mati. Saya lihat tembok dalam remang-remang kegelapan sel itu goyang. Tiba-tiba dari tembok itu muncul macan yang hendak menerkam saya. Saya bilang,
Saya tidak takut mati!
Kau mau bunuh saya? bunuh lah…
dan macan itu hilang. Tiba-tiba muncul suara
"engkau siapa sebanarnya dan apa yang engkau kehendaki?" lantas hilang,
dan pertanyaan ini sampai sekarng pun saya tdk bisa menjawab. Siapa aku ini sebetulnya? tdk bisa menjawab dan apa yang saya kehendaki sebetulnya? juga tidak bisa menjawab, sampai sekarang.


T: Sosok Ibu bagi Bung adalah sosok yang sangat istimewa dan itu dapat dirasakan dari karya-karya Bung. Apa yang membuat sosok Ibu sangat istimewa bagi Bung?

Pram: Pada hari pertama 2 maret 42, saya berumur 17 tahun. Ibu saya sakit keras, tidak ada obat, tidak ada yang memberi makan satu keluarga. Maka saya sendri yang mengusahakan, untuk bisa makan, untuk bisa mengurus Ibu saya yang sakit keras. sampai meningalnya. Waktu itu saya tahu bahwa, tidak ada satu orangpun yang membantu saya. Semuanya harus saya kerjakan sendiri, Sampai penguburan terakhir Ibu saya. Seorang anak umur 17 dengan adik 7 yang terakhir adik saya meninggal dalam jam yang sama dengan Ibu saya. Di situ saya terus teringat dengan pesan Ibu saya,
Jagan minta-minta pada siapapun!
dan saya laksanakan dalam mengantarkan Ibu saya ke tempat peristirahatan terakhir. Begitu banyak orang yang dibantu keluarga kami, waktu dalam keadana seperti ini tidak ada satu tanganpun membantu. Seorang anak umur 17 tahun, karena itu terhadap Ibu sampai sekarang saya merasa telah mengurusnya dengan sebaik anak umur 17 dapat lakukan. Ibu saya meningal umur muda 34 tahun lamanya. Tetapi apa yang diberikan pada saya tetap hidup bahkan memancar di dalam tulisan-tulisan saya untuk itu saya berterimakasi kepada Ibu saya.

T: Bung sangat berani dalam bersikap. Baik terlihat dalam tulisan maupun sikap-sikap politik Bung. Bagaimana Bung memaknai itu?

Pram: Keberanian itu bukan anugerah tapi hasil latihan hidup sehari-hari. Keberanian itu sama seperti otot manusia kalau tidak dilatih dia akan jadi lemah. Dalam hidup ini, kita mengalami banyak tantangan. Latihan pertama adalah jagan lari, hadapi semuanya, itu cara untuk melatih keberanian.



NB: Terinspirasi dari seri kodumenter
Judul: Mendengar bisu bernyayi
Sutradara: Srikaton M
Produksi: Yayasan Lontar 1995


Jogja, Januari 2010