Ibuku Tanah Airku [1]


Tanah adalah ibu kehidupan. Agama, mitologi dan sains sepakat bahwa sejatinya manusia berasal dari tanah. Meski luas lautan membalut hampir seluruh permukaan Bumi namun tanah adalah unsur paling dominan planet ini. Dari tanah kita hidup, dari tanah kita makan, dari tanah manusia belajar membangun peradaban dan dari tanahlah siklus hidup dimulai.

Saya ingin mengutip suatu idiom kuno dalam hukum ekonomi. Bahwa, Alam memiliki keterbatasan sedangkan keinginan manusia tidak terbatas, disebapkan manusia mengelola alam untuk pemenuhan kehidupan yang tidak terbatas tersebut, membuat alam yang terbatas ini tidak sanggup meladeninya. Idiom yang cukup sederhana, namun persoalan inilah yang ternyata menjadi titik balik menyesaki perjalanan panjang peradaban umat manusia.

Lantas, pertannyaan selanjutnya adalah keinginan manusia macam apa yang tidak terbatas tersebut? Hasrat konsumsikah? Atau Hasrat peroduksi?

Hasrat konsumsi, terutama untuk mengisi perut adalah natural order (hukum alam) yang tak terbantahkan oleh siapapun. Untuk hidup manusia butuh makan, mau makan harus kerja. Apa yang dikerjakan? Mengelola alam dengan bertani atau melaut. Kebutuhan manusia dalam hal konsumsi (makan) sifatnya konstan (tetap), bila ada peningkatan cenderung berjalan lambat. Peningkatan terjadi seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Pada situasi seperti ini, pola produksi hanya dilandaskan pada pemenuhan kebutuhan sehari hari dengan model produksi sederhana pertanian, berburu atau menjadi nelayan.

Natural order ini berubah ketika manusia mulai mengenal nilai lebih. Apa itu nilai lebih? Nilai lebih adalah suatu nilai yang terkandung dalam suatu barang di luar nilai intrinsiknya. Contohnya, ikan. Apa nilai lebih ikan? Ikan selain bisa dimakan, ikan juga dapat dipertukarkan dengan barang lainnya. Bila dahulu ikan dibarter dengan beras atau gandum, sekarang ikan dipertukarkan dengan uang, saham, dll. Nilai lebih ikan adalah ketika ikan dapat menghadirkan nilai lain selain nilai ikan itu sendiri (nilai tukar).

Nilai lebih kemudian membuat pola konsumsi dan produksi yang tertata dalam natural order (hukum alam) mulai bergeser. Pemahaman mulai berkembang pesat, bukan pada tataran bagaimana menata tingkat konsumsi melainkan menigkatkan tingkat produksi seiring menciptakan pasar lewat rekayasa sosial yang sistematis untuk menyerap hasil produksi tersebut.

Kembali ke soal tanah. Ketika Natural order berlaku, tanah dijadikan sarana untuk pemenuhan kebutuhan. Keberadaan tanah menjadi factor determinan (faktor pokok dan tunggal) dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Tanah menjadi kunci kesejateraan karena dengan mengelola tanah atrinya meningkatkan kesejateraan dan kebijaksanaan hidup. Keadaan tersebut berubah ketika produksi untuk meraup nilai lebih dijadikan panglima. Tanah dijadikan komoditas produksi, dijual belikan, dikuasai oleh segelintir orang atau sebagian kelompok kecil dan pengelolaannya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan modal yang minimal.

Kontradiksi dimulai. Situasi tersebut dipicu oleh akses atas tanah mulai berkurang seiring penguasaan tanah secara sepihak, artinya akses terhadap konsumsi (pemenuhan perut) mulai tersendat. Ini adalah ancaman atas keberlangsungan hudup, bukan lagi ancaman pada komunitas namun merupakan ancaman atas orang-perorang. Keberlangsungan kehidupan terancam karena stok pangan menurun tidak memenuhi kuota konsumsi. Walhasil kemiskinan, kelaparan dan kematian adalah mimpi buruk yang segera menghampiri.

Anehnya situasi tersebut sangat dinikmati oleh para tuan tanah karena penguasaannya yang luas atas tanah sehingga menjadikan tanah sebagai sumberkekayaan. Tanah yang awalnya diperuntukan untuk menanami varitas pertanian konsumsi kini mulai disulap menjadi tanaman industry. Tanaman yang lebih memiliki nilai ekonomis tinggi dan hasil pertanian diperjual belikan denga harga selangit. Rakyat yang tidak kebagian tanah tadi, untuk bertahan hidup akhirnya menukarkan tenaga kerjanya dengan upah murah. Upah yang hanya cukup untuk bernafas. Kepemilikan tanah sepihak inilah berdampak pada hilangnya kedaulatan atas tanah, kedaulatan untuk menegelola tanah secara bersama-sama untuk kesejateraan bersama. Tanah tidak lagi menjadi barang public, tanah kini telah menjelma menjadi barang privat.

Dikarenakan tanah adalah milik publik, milik kita bersama, maka dalam tatanan hukum macam apapun praktek kepemilikan tanah yang monopolistik tidak dibenarkan. Kenapa? Karena akan mengancam keberlangsungan dan kesejateraan hidup yang lainnya.

Sekarang anda bayangkan…. Anda hidup di sebuah pulau. Luasnya sepuluh kali lapangan bolakaki lengkap dengan sumber mata air, bukit, pepohonan rindang dan tanah yang subur. Penghuni pulai itu hanya sepuluh orang, atau satu hektar untuk satu orang. Awalnya, semua hidup komunal terkonsentrasi dalam satu komunitas. Pemenuhan kehidupan sehari-hari dilaksanakan secara bersama-sama, membuka lahan pertanian, mencangkul, mananam bibit, memelihara dan memanen hingga di konsumsi bersama. Semuanya samarata sama rasa.

Kehidupan berlanjut… suatu saat ada kesalah pahaman di antara penduduk. Kesalahan yang tidak mampu didamaikan akhirnya penduduk yang hanya sepuluh tadi mulai terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Tanah mulai di bagi, territorial mulai menjadi persoalan penting. Pertambanahan penduduk memaksa untuk perluasan territorial, maka terjadilah perang antar kelompok untuk merebut wilayah territorial yang lebih luas. Perluasan wilayah territorial sama artinya perluasan akan akses tanah. Karena pokok dari penguasaan territorial adalah hak pengelolaan tanah.

Konflik tersebut memunculkan kelas dominan. Kelas dominan adalah pihak yang memenangi perang sehingga menguasai tanah yang luas. Pengelolaan tanah sepenuhnya dikontrol oleh kelas dominan dan yang tersisih karena kalah bekerja sebagai budak. Untuk mengkontrol kerja dan kekayaan tersebut ditunjuklah kepala suku. Kepala suku memiliki otoritas penuh atas pengelolaan pulau.

Lambat laun, otoritas kepala suku yang besar tersebut membuat kepala suku mengikrarkan diri sebagai pemilik tanah (pulau) dan seluruh penghuni pulau termasuk komunitasnya mereka semuanya adalah budak yang bekerja untuk kepala suku. Seluruh penduduk di pulau itu kini menjadi budak, mereka bekerja untuk kepentingan kepala suku (penguasa). Hasil panen oleh kepala suku dipertukarkan dengan pulau lain untuk mendapatkan keuntungan atau nilai lebih yang dinikmatinya seorang diri.

Penderitaan dan kekecewaan para budak perlahan terakumulasi. Puncaknya muncul protes, penolakan dan perlawanan untuk mendapatkan hak alamiahnya yaitu akses terhadap pengelolaan tanah yang berkeadilan.

Itu adalah ilustrasi sederhana. Memberikan sedikit gambaran tentang manusia dan tanah. Memang dalam kehidupannyata hal tersebut jarang berlaku, pun kalau berlaku tidak selinier ilustrasi di atas. Di sinilah perlu disadari sepenuhnya ketika rakyat kehilangan hak atas pengelolaan tanah, disebapkan akses tanah yang dimonopoli oleh penguasa. Maka, sudah menjadi natural order (hukum alam) dalam situasi demikian akan lahir perlawanan rakyat. Perlawanan untuk menuntut hak atas kedaulatan pengelolaan tanah.

[Bersambung…]



Jogja, 20 Agustus 2010

NB: Gambar

Bibir Gincu Merah Jambu

Sudut sempit yang selalu diam. Menatapku penuh keheranan. Kita bercengkrama lepas dalam bahasa diam, bercerita tentang masa lalu lewat imaji dalam tautan memori yang lusuh. Bercak noda yang melekat disekujur dinding kamarku mengisyaratkan betapa tuanya dia. Tapi dia selalu diam meski aku tahu betul, bahwa pada noda-noda itu ada cerita yang membalutnya.


Aku menatap kelangit-langit kamar. Diatas tergantung lampu neon buatan Jerman. Cerahnya membuatku bermandi cahaya. Aku mulai memandanginya lebih dalam sembari mulai mengajaknya bercengkrama. Namun dia tetap diam.

Betapa sunyi malam ini, tidak ada satu setanpun yang dapatku ajak bercanda. Risauku sepi dalam hati

Bila ada teropong bintang inggin rasanya menerawang jauh ke bimasakti, mengintip sesuatu yang bisa ku ajak berbicara. Tiba-tiba aku merasa ada belaian hangat menyapa pelan. Belaian yang datang bersama anggin. Membasuh pipiku perlahan. Belaian yang membuatku terbawa pada memori masalalu....

Kakek tidak ikut berperang di garda depan, kerena tidak kebagian waktu pembagian senjata. Sesungguhnya bila punya kesempatan kakek inggin sekali memanggul senjata. Jadi, kakek ditugaskan sebagai kepala gudang. Bertugas untuk menyiapkan logistic bagi para pejuang. Semacam dapur umum yang bertanggung jawab atas asupan makanan para pejuang… kakek sudah mencoba untuk mengurusnya di dinas terkait, agar kakek bisa dapat tunjangan Veteran. Tapi setelah sepuluh tahun mengurus dan tak kunjung ada jawabanya maka kekek memutuskan melepasnya.

Aku inggat betul perkataan itu. Ungkapan penuh bangga seorang kakek kepada cucunya ketika bercerita perannya dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Tak disangka, perjuangan mengurus haknya sebagai Veteran jauh lebih sulit dibandingkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sampai menutup mata, haknya sebagai veteran perang tidak urung diiakan oleh Negara. Kakekku sesungguhnya tidak butuh belas kasih Negara dalam bentuk rupiah karena pekerjaannya sebagai seorang petani sudah sukup untuk menghidupi dan menyekolahkan Sembilan anaknya. Bahkan sampai ada yang menjadi guru dan pegawai, suatu pencapaian yang sebelumnya tak terbayangkan oleh seorang petani yang tak pernah makan bangku sekolah, tak tahu baca tulis. Aku menyadari sepenuhnya mungkin cerita kakekku hanyalah secul dari ribuan bahkan jutaan cerita serupa yang membalut pilu para pejuang kita.

………………..

Suasana semakin sunyi, jam di dinding menunjukan pukul 01:30 WIB. Saat yang tepat untuk membaringkan lelah seharian. Namun, lelahku tidak dapat berkompromi dengan waktu. Mungkin Siklus hidupku sudah abnormal, berbeda dengan orang kebanyakan. Untuk mengusir sepi, aku membuka jendela kamar yang ku tutup sehari tadi. Sekadar menghirup lembab udara dinihari. Udara begitu dinggin dan segar mulai ku hirup dan perlahan memenuhi paru-paruku. Sejenak ada ketenangan seiring dinggin sepoi angin malam.

Ku jelajahi langit malam, tak ada bintang satupun tampak. Malam ini langit dibalut gelap. Malam yang begitu melankolis, hanya ada lampu-lampu rumah dan lampu-lampu trotoar menerangi bibir jalan, bahkan tidak ada satu tikus gotpun yang berkeliaran di emperan rumah dan pertokoan. Semuanya sunyi serasa berada di kota mati.

Dari jendela kamar aku begitu leluasa memandang ke pusat kota. Letak rumah strategis berada di punggung bukit memudahkan pandangan mataku menjamah lorong-lorong sepi. Sepertinya Semua orang sudah lelap dalam mimpi.

Mulai ku sandarkan kepala pada dinding kamar. Sembari memilih mimpi apa yang cocok untuk menemani tidurku nanti. Meski aku sadar bahwa ketika terbangun mimpi itu akan menyiksaku, karena tidak akan sedikitpun dapat kuraih meski dengan kerja keras. Serentak ada siluet kilauan cahaya merah, biru, kuning memenuhi kolong langgit, di ikuti suara menggelegar seperti meriam tentara Belanda waktu agresi militer dulu. Cahaya dan suara itu berkejaran membentuk formasi simetris. Takjub aku dibuatnya.

Ini bukan sirine perang kawan. Perang sudah usai. Enam puluh lima tahun yang lalu kita sudah memproklamirkan kemerdekaan. Pekikku dalam hati.

Aku bersegera mencondongkan leher kejendela, ku lemparkan pandangan pada cahaya silau tersebut. Oh… ternyata kembang api. Seseorang sedang menyalakan kembang api. Artinya ada momentum yang sedang dirayakan.

Sebuah perayaan sedang berlangsung. Tapi, apa yang dirayakan?

Biasanya pesta kembang api hadir pada saat ritual pergantian tahun. Atau bila ada yang merasa kelebihan rupiah pesta kembang api juga menjadi pengisi acara dalam pesta ulang tahun. Bingung mulai berkecamuk mingisi kepalaku. Spontan, ku ambil kalender dan mulai menghitung bulan…

Bukankah sekarang bulan Agustus? Ya benar sekarang bulan Agustus dan hari ini tepat tujuhbelas Agustus

Wah… ternyata sebuah perayaan meriah menyambut ulangtahun kemerdekaan sedang berlangsung. Tepatnya acara tersebut di pusat kota, terditeksi dari asal roket kembang api tersebut diluncurkan. Lantas… Apa yang dirayakan? Apakah kita sedang merayakan kemerdekaan? Atau apakah kita sudah merdeka? Apa buktinya kita sudah merdeka? Apa perlu kemerdekaan itu dirayakan? Semua Pertanyaan itu tiba-tiba tumpah di pikiranku.

Sebuah perayaan yang absurd, lebih tepatnya demikian. Enam puluh lima tahun umur Republik, umur yang senja untuk ukuran manusia. Umur ketika manusia mencapai titik kebijaksanaan. Mulai mengerti arti hidup sesungguhnya lewat pergulatan hudup yang panjang. Republik, enam puluh lima tahun umurnya, namun belum sebijaksana keadaannya. Tua-tua keladi semakin tua semakin nelangsa. Bayangkan saja di umur yang setua ini kita belum memiliki apa-apa. Kita tidak pernah menikmati kekayaan yang kita miliki sendiri. Aku jadi teringgat oleh anekdot yang pernah dilontarkan oleh seorang kawan.

Apa yang kita miliki? Ditanah Atlantis subur ini, rotasi waktu membentuk keseimbangan total. Namun, tahukah kawan? Tanah, air dan udara semuanya sudah tergadai. Tanah kita dikuasai oleh PT.Freeport. Mereka mendepak masyarakat adat pemilik sah tanah pegunungan Mimika, menguras saripati Bumi, dan menciptakan lubang-lubang raksasa yang dapat dilihat dari Mars sekalipun. Air kita dikuasia oleh PT.Danone, menghisap mata air pegunungan sehingga para petani tidak lagi mampu mengairi sawahnya, membungkus air dalam kemasan Aqua lalu di jual dengan harga yang tingginya melebihi harga minyak. Udara dikuasai oleh PT.Temasek, udara yang kita hirup penuh dengan sinyal-sinyal Indosat, keuntungannya pertahun setara dengan APBN tahun ini. Kita merdeka tapi tidak ada kedaulatan, tanpa kedaulatan itu namanya kemerdekaan semu.

Terkadang aku pikir ada benarnya juga anekdot kawanku itu. Kita sedang merayakan kenelangsaan sendiri. Kado ulangtahun yang pahit karena enam belas persen atau sekitar empat puluh juta jiwa dari dua ratus lima puluh juta jiwa penduduk Republik masih hidup dibawah garis kemiskinan. Jumlah angka kemiskinan itu sebanding dengan total penduduk Prancis. Jutaan rakyat yang tidak mendapat akses kesehatan dan pendidikan yang memadai. Pengusuran, harga sembako melangit, lapangan pekerjaan susah, TKI disiksa majikan Negara diam saja, garis batas Negara diserobot Negara tetangga, kesepakan-kesepakan Internasional yang timpang dengan kebutuhan rakyat banyak, penegakan hukum dan HAM yang simpang siur, dan masih banyak lagi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.

Aku tertegun dalam lamunan panjang. Lelah mulai menggelayuti dan batal guling mulai berbisik memanggil. Ku tambatkan kepala pada bantal yang mulai mengeras. Sembari berbisik dalam hati… Semoga ada mimpi yang terbeli menemani malam ini. Mimpi tentang belai kasih Ibu pertiwi. Aku begitu mendambakan Ibu Pertiwi menciumku pagi ini, ciuman sayang lengkap dengan bekas kecupan bibir gincu merah jambu. Gincu merah jambu yang dibelinya kemarin sore di pasar setelah setahun menabung rupiah hasil panen pisang di pekarangan rumah. Bekasnya akan jadi tanda sayang seorang Ibu pada anaknya, bekas yang tak akan ku hapus, ku jaga selalu untuk tetap di pipiku dan sesekali akan ku pamerkan kepada tetangga, pacar dan kawan-kawanku.



Jogjakarta, 17 Agustus 2010