Tanya kenapa? Saya selalu bertanya-tanya


Ini hanyalah catatan singkat, sangat singkat sekali. Curhatan yang saya pikir tidak terlalu penting, namun saya merasa perlu untuk membaginya. Dikarenakan hanyalah lembaran curahan hati, maka saya harap mampu mewakili kebingungan dan kebimbangan yang selama ini saya rasakan dan alami. Ini bukanlah cerita fiktif namun merupakan ilustrasi ringan yang bersumber dari kehidupan keseharian kita semua. Saya sarankan kepada anda yang beranggapan bahwa tulisan ini akan banyak menyoal romantisme melankolik maka saya tegaskan sekali lagi kepada anda untuk tidak meneruskan membaca.

Hubungan Indonesia-Malaysia kembali memanas. Insiden berawal ketika patroli laut tentara Diraja Malaysia menangkap tiga petugas kelautan Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran perbatasan. Peristiwa tersebut sontak mendapat respon luar biasa dari masyarakat Indonesia. Entah siapa yang memuli aksi anti terhadap Malaysia tumbuh subur menjadi headline di media massa nasional maupun daerah. Aksi-aksi masyarakat tersebut menuntut pemerintah untuk segera bertindak tegas dalam menyelesaikan kasus tersebut. Peninjauan kembali hubungan diplomatik, recalling pekerja migran Indonesia di Malaysia sampai tutuntutan perang terhadap Malaysia, menjadi wacana yang berkembang di publik. Hampir seluruh energi masyarakat dikerahkan untuk merespon isu tersebut. Menjadi perbincangan di ruang akademik bahkan sampai obrolan warungkopi, terminal dan pasar-pasar. Seakan ada gejolak besar yang sedang menghantui eksistensi Negara sehingga butuh disikapi bersama.

Atas desakan publik, Presiden sebagai Panglima tertinggi negara pemegang otoritas untuk menyatakan perang, kemudian mengelar pidato kenegaraan di Markas besar TNI Cilandak (KOMPAS,01/09/2010).Secara tegas melontarkan pandangannya.

Pertama, kata Presiden, Indonesia dan Malaysia memilik hubungan sejarah, budaya, dan kekerabatan yang sangat erat dan mungkin yang paling erat dibanding negara-negara lain dan sudah terjalin selam ratusan tahun. Jadi kita mempunyai tanggung jawab sejarah untuk memelihara dan melanjutkan tali persaudaraan ini. Kedua, hubungan Indonesia dan Malaysia adalah pilar penting dalam keluarga besar ASEAN. "ASEAN bisa tumbuh pesat selama empat dekade terakhir ini, antara lain karena kokohnya fondasi hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia. Ketiga, kerja sama harmonis yang telah terjalin antara kedua negara. Ada sekitar dua juta orang Indonesia yang bekerja di Malaysia baik di perusahaan, di bidang pertanian, maupun di berbagai lapangan pekerjaan. Ini adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang terbesar di luar negeri. "Tentu saja keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia membawa keuntungan bersama bagi Indonesia maupun bagi Malaysia.

Sementara itu, ada sekitar 13.000 pelajar dan mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Malaysia dan sekitar 6.000 mahasiswa Malaysia di Indonesia. Ini merupakan aset bangsa yang harus dibina bersama dan menjadi modal kemitraan. Menurut Presiden, kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Malaysia menjadi alasan penting hubungan kedua negara harus dipertahankan. Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia merupakan ketiga tebesar dengan 1,18 juta orang dari total 6,3 juta wisatawan macanegara. Investasi Malaysia di Indenesia dalam lima tahun terakhir pada 2005-2009 berupa 285 proyek dengan nilai investasi berjumlah 1,2 miliar dollar AS. Sementara investasi Indonesia di Malaysia mencapai 534 juta dollar AS. Jumlah perdagangan kedua negara selama tahun 2009 mencapai 11,4 miliar dollar AS.

Ini adalah fenomena menarik untuk dikaji. Saya tidak akan banyak membahas secara teoritik terkait eksistensi negara atau logika diplomasi, namun saya hendak melontarkan beberapa pertanyaan yang sekiranya dapat dijadikan acuan untuk bisa membedah anatomi perkembangan hubungan Indonesia-Malaysia.

Saya tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba persoalan Indonesia-Malaysia kembali memanas? Apakah memang benar ada pelanggaran tapal batas negara sehingga negara yang merasa dirugikan bersikap tegas dan melayangkan nota protes? Bila demikian itukan tugas negara, apa perlu memobilisasi energi seluruh manusia Indonesia untuk merespon hal itu? Soal pelanggaran tapal batas sudah menjadi hal yang lumrah dalam hubungan neraga bertetangga. Apakah kita hanya memahami pelanggaran tapal batas hanya pada hal-hal yang bersifat matireal ataukah esensial? Sebenarnya siapa yang paling melanggar Malaysia-kah atau lumpur lapindo, Freeport, atau Newmonth?

Saya kadang berfikir, apakah persoalanya sepelik dan serumit itu sehingga seakan persoalannya tidak dapat diselesaikan dengan cara bijak? Ataukah ada skema yang diatur untuk memobilisasi kesadaran massa agar melupakan beberapa kasus esensial seperti korupsi, lumpur lapindo, kemiskinan, kenaikan harga sembako, kekerasan, perampasan tanah, lapangan kerja yang susah, pendidikan mahal, upah buruh rendah, dll. Sungguh miris dan agoran pemerintah kita saat ini. Saya tidak habis pikir kemana pemerintah ketika tebung gas 3 kg meledak pemerintah urung bersikap, padalah selama ini sudah seratus lebih korban akibat ledakan tersebut.

Saya tidak habis pikir, ketika ada penangkapan oleh Malaysia atau ada klem karya cipta yang dipandang asli Indonesia sontak hal itu menjadi isu publik dan hanya ada satu kata, perang. Namun, bagaimana kita bersikap ketika para TKI diperlakukan tidak manusiawi, disiksa, upah rendah, diperkosa dan dibunuh di Malaysia. Apakah gelombang protesnya seheroik sekarang? Saya tidak hendak menyederhanakan persoalan namun kita harus fair dalam melihat persoalan tersebut. Persoalannya bukan pada mau perang atau diplomasi, Malaysia jahat atau baik, Indonesia teraniaya atau didzolimi namun kita harus bijak bahwa meletakan persoalan pada apa sesungguhnya kepentingan kedua negara dalam hubungan ekonomi politik?

Saya masih inggat 1960-an Soekarno mengkampanyekan gerakan Ganyang Malaysia, terlepas dari persoalan politik domestik, saya melihat upaya pemerintah ketika itu sebagai langkah untuk mengambil kontrol atas selat Malaka yang secara historis dibangun oleh Majapahit sebagai transit perdagangan internasional ketika itu. Malaysia oleh Soekarno kemudian di asosiasikan sebagai new-imperialis karena di kontrol oleh negara bekas tuanya (Inggris). Kenapa Inggris? Karena inggris oleh Soekarno dipadang sebagai kekuatan kapitalisme yang akan menggangu dinamika perkembangan ekonomi-politik kawasan Asia Tenggara.

Sekarang konfrontasi kembali terjadi, tapi ada sedikit perbedaan. Bila Soekarno memobilisasi energi manusia Indonesia untuk melakukan perlawanan atas perkembangan kapitalisme di kawasan Asia Tenggara untuk membentuk karakter masyarakat yang berdikari secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Maka apa yang terjadi dengan konfrontasi SBY sekarang, apa output yang hendak diharapkan ataukah ini tidak ada hubungannya dengan kepentingan bangsa, karena sekarang seluruh energi mengarah kepada sosok pribadi peresiden sebagai penglima tertinggi yang memiliki hak untuk menyatakan perang?

Apakah saya salah, sebagai warganegara memandang apa yang terjadi sekarang (Indonesia-Malaysia) hanyalah rekayasa politik semata? Ketika persoalan kedua negara terkait kebijakan ekonomi politik tidak dapat terselesaikan di meja perundingan, kenapa arus menguras energi manusia Indonesia? Atau apakah ini ukuran dari “nasionalisme” bila demikin sungguh alangkah usangnya pemahaman kita atas nasionalisme.

Pertannyaan saya, apakah ini adalah strategi SBY untuk pencitraan demi pencalonan ketiga kalinya, ataukah dorongan dari borjuasi nasional yang merasa kepentingan investasi dalam negeri mulai tersendat oleh derasnya penetrasi pengusaha Malaysia?
Saya juga punya pertanyaan, apakah ini hanya strategi rezim untuk memaksa dibukanya negosiasi terkait, pertama, kebijakan perlindungan dan upah buruh migran di Malaysia. kedua, pembangian jatah pengelolaan pelabuhan selat malaka (Singapura, Indonesia, Malaysa) dan ketiga, kebijakan investasi ekonomi pengusaha Malaysia di Indonesia?

Sampai saat ini, saya masih bertanya-tanya. Kebingungan tentang strategi kebijakan luarnegeri dan model pembangunan Indonesia. Saya hanya inggin titip pesan kepada siapa saja dan terserah mau disampaikan kepada siapapun. Bahwa masih teramat banyak menumpuk agenda nasional yang harus disikapi serius oleh pemerintah. Bukankah kekuatan negara di dunia internasional berasal dari kekuatan nasional. kekuatan yang bersumber dari kesadaran atas tanah, air dan udara. Kesadaran akan hak-hak normatif warganegara dan Kesadaran akan kewajiban negara (pemerintah) dan rakyat itu sendiri.

Saya hanya bertanya, apakah bertanya itu salah? atau bertanya itu haram? atau sudah tidak ada lagi hak bertanya di Republik ini? Apapun jawabanya saya hanya bertanya, itu suda...!!!




Jogjakarta, 03 september 2010