Siklus Alam dan Bencana Sosial-Politik


Lima belas hari lamanya masyarakat yang selama ini mendiami lereng Merapi hidup dalam ketidak pastian. Hanya satu hak yang pasti “Merapi kembali beraktivitas”. Aktivitas merapai adalah siklus alam yang sudah terjadi berulang kali dan masyarakat sudah “terbiasa” bahkan paham dengan salah satu gunung teraktif di Indonesia tersebut.

Kini, masyarakat shok karena aktifitas merapi sulit diprediksi. Sudah lima belas hari sumburang awan panas terus saja mengalir dari puncak Merapi. Ledakan eksplosifpun seakan menjadi pertanda bahwa Merapi kini mulai bangkit dari tidur panjangnya.

Ratusan ribu penduduk yang bermukin disekitar lereng terutama dalam radius 20 km dari puncak merapi di evakuasi. Proses evakuasi dilakukan oleh tim terlatih (SAR, TNI dll). Pengungsian yang membludak ini diluar antisipasi pemerintah sebelumnya. Belakangan barak-barak pengungsian yang sebelumnya diprioritaskan untuk menampung pengungsi sebagian sudah di tutup, dikarenakan barak-barak pengungsian tersebut masuk dalam radius bahaya merapi.

Tidak ada alternatif lain, kampus, gelongang olahraga, markas TNI, bahakan salah satu pendopo Keraton Yogyakarta disiapkan untuk menampung membludaknya pengungsi. Meski demikian, mobilisasi massa masal sulit dikontrol. Banyak dari warga yang memilih mengungsi di sanak famili, keluar kota atau mensulap mobil (trek) menjadi barak pengungsian, berteduh sementara waktu.

Itu hanyalah satu soal terkait penempatan pengungsian, belum lagi kita menyoal penyaluran logistik dan relawan. Atau rekonstruksi pasca keadaan tanggap darurat. Ada kegelisahan akut yang melanda ketika memperhatikan perilaku distribusi barang yang tidak manusiawi.
Ini persoalan penting, mengingat terkait dengan kelangsungan hidup dan kesehatan para pengungsi dalam kesehariannya. Logistik seperti sembako, obat-obatan, peralatan bayi, peralatan MCK, perlengkapan tidur, baju dll, banyak yang mengalir dari segala penjuru. Rasanya seluruh energi masyarakat Indonesia sedang tercurahkan ke Merapi. Sehingga secara mendasar aliran logistik berdatangan dari segala penjuru.

Sungguh disayangkan, distribusi logistik ini agak kurang merata. Dan bila logistik tersebut didistribusikan lewat jalur pemerintah, maka ada kesusuhan yang sering di alami. Logika pemerintah sangat birokratis, dan penyaluran logistik tersendat dikarenakan alur birokrasi yang terlalu panjang dan cenderung sangat prosedural. Wal hasil, yang menjadi korban adalah para pengungsi.

Perilaku birokrasi tersebut sangat bertentangan dengan instruksi Presiden yang sekarang memilih berkantor di Istana Nagara Yogyakarta. Tujuan utamanya adalah agar alur birikrasi dapat dipersingkat dan penanganan terhadap pengungsi manjadi prioritas utama untuk penegakan nilai kemanusiaan dan hak warganegara . Namun, pada prakteknya urung terlaksana dilapangan. Artinya, pelaksana lapangan tidak memahami logika tangap darurat Merapi dan cenderung bekerja dengan menempatkan logika kerja pada situasi siaga.

Ini pelajaran penting untuk kita semua, terkhusus untuk pemangku kebijakan di level daerah sampai nasional. Tugas penanggulangan merapi masihlah teramat panjang dan berat, mengingat kerusakan material maupun imatrial yang ditimbulkan. Terutama recovery dan rekonstruksi pasca Merapi.

Siklus alam akan berubah menjadi bencana sosial-politik bila penanganan yang dilakukan tidak tepat. Merapi telah memberi banyak, air bersih jernih, tanah subur, pariwisata, keindahan alam dll. Merapi telah memberikan kehidupan pada ratusan bahakan jutaan warga sekitar merapi, Merapi sekarang hanyalah menjalankan siklus alam yang sudah berjalan alamiah. Namun, terkadang manusia tidak mempu membaca perubahan siklus alam tersebut. Kita meski banyak belajar dari Merapi. Mengingat Indonesia dikepung oleh ratusan gunung api aktif. Belajar untuk memahami gejala alam dan belajan untuk mensikapinya.


Gambar

Posko Gerakan Jogja Bangkit
YOGYAKARTA,Selasa 09 Nov 2010