Protes HPH di Maluku Menagih Konsistensi Pemerintah

Oleh: Gafur Djali

Warga pulau Yamdena berdemonstrasi di depan kantor Gubernur Maluku melolak penebangan hutan. Mereka menuntut Gubernur dan Menteri Kehutanan mencabut izin HPH yang akan beroperasi di Pulau Yamdena. Masyarakat khawatir penebangan hutan akan merusak lingkungan dan berdampak bagi kelangsungan hidupnya (kompas, 3/2/2010). Dua hari sebelumnya, masyarakat pulau Buru juga melakukan demonstrasi dengan mendatangi dinas kehutanan provinsi Maluku. Menuntut agar gubernur dan kepala dinas kehutanan Maluku mencabut rekomensi pemberian izin HPH di pulau Buru (Liputan6.com,1/2/2010).

Protes masyarakat kian mengurita. Protes ini berawal dari keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.103/VI-BPHA/2008 dan SK.162/VI-BPHA/2009. Keluarnya surat keputusan (SK) terkait pemberian izin usaha pengolahan hutan di Maluku (Yamdena & Buru). Izin tersebut dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan kepala Dinas Kehutanan Maluku. Persoalan ini mencuat beberapa bulan terakhir dan dapat menjadi tolak ukur keseriusan pemerintah dalam pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejateraan masyarakat pasca bergulirnya kesepakatan Copenhagen accord.
Presiden Yudhoyono dalam pidatonya. Pada KTT Perubahan Iklim ke-15 (COP 15) di Kopenhagen desember 2009 lalu. Mendeklarasikan bahwa Indonesia akan berkomitmen memangkas emisi karbon sebesar 26% dan bahkan dapat mencapai 41% jika didukung suntikan dana internasional. Pada tahap awal “Rencana Aksi Nasional” (RAN) penurunan emisi 26 persen di rencanakan selesai pada Maret 2010.

Sebagai tindak lanjut dari Copenhagen accord Kementerian Kehutanan mencanagkan program penanaman satu milyar pohon. Program ini menuntut peran aktif masyarakat untuk mengsukseskannya, layaknya program “One Man One Tree” yang sudah berjalan sebelumnya. Inkonsistensi muncul ketika Kementerian Kehutanan justru menyiapkan areal hutan seluas 29 juta hektar untuk investasi pada tahun 2010. Jenis investasi tersebut terdiri dari izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), restorasi ekosistem (RE), dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK).

Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup menyatakan bahwa laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,1 juta hektar per tahun. Bila kondisi ini dibiarkan berlangsung, maka sebanyak 30-40 juta penduduk Indonesia terancam menjadi korban dampak pemanasan global diantaranya banjir, bencana alam dan dampak lainnya (kompas, 27/11/09).

Dualisme dan inkonsistensi kebijakan pemerintah terlihat sangat fulgar. Disatu sisi pemerintah dituntut untuk melakuakan gerakan penghijauan dan mencegah kerusakan hutan lebih lanjut sebagai konsekuensi dari Copenhagen accord. Namun di sisi lain pemerintah membuka keran investasi kehutanan yang justru akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan kelangsungan hidup masyarakat. Persoalan inkonsistensi dan ketidak tegasan pemerintah juga terlihat dalam persoalan izin HPH/IUPHHK di Maluku (Yamdena & Buru). Pemerintah belum juga mencabut izin usaha tersebut meski menuai protes dari masyarakat. Selama ini, masyarakat Maluku (Yamdena & Buru) mengalami trauma historis akibat eksploitasi hutan. Eksploitasi hutan selama ini ternyata hanya menghadirkan kerusakan lingkungan dan menyusahkan masyarakat.


Investasi Kehutanan di Maluku

Indonesia Timur khususnya Maluku kini menjadi primadona investasi. Para investor mulai melirik Maluku sebagai daerah investasi yang menjanjikan. Selain memiliki potensi kelautan dan sumberdaya mineral, Maluku juga memiliki areal hutan yang cukup luas.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI nomor 415/Kpts-2/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Daerah Tingkat I Provinsi Maluku. Menyatakan bahwa luas hutan Maluku adalah 5.418.500 ha, yang terdiri dari areal hutan seluas 4.663.346 ha dan areal tak berhutan seluas 775.154 ha. Areal hutan seluas 4.663.346 ha tersebut terdiri dari hutan suaka alam (HSA) seluas 475.433 ha, hutan lindung (HL) 779.618 ha, hutan produksi (HP) 908.702 ha, hutan produksi terbatas(HPT) 885.947 ha, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK)1.633.646 ha. Luas areal konsesi HPH/ IUPHHK sebesar 1.427.225 ha dengan jumlah HPH/ IUPHHK 20 unit. Dari luas dan jumlah tersebut, saat ini yang aktif/ izinnya masih berlaku sejumlah 13 unit dengan luas konsesi sebesar 832,763 ha. HPH/ IUPHHK yang tidak aktif disebabkan karena izinnya telah berakhir atau izinnya dicabut. (Kebijakan pembangunan kehutanan di Maluku, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, 2007).

Rencananya, eksploitasi hutan pada tahun ini, terdiri dari ± 12.600 ha di Kabupaten Buru (Buru) dan ± 93.980 ha di kabupaten Maluku Tenggara Barat (Yamdena). Total areal aksploitasi (Buru & Yamdena) mencapai 106.580 ha. Rencana tersebut kini mendapat protes keras dari masyarakat. Izin eksploitasi hutan dikeluarkan pemerintah sementara kondisi hutan di Maluku sangat memprihatinkan. Dinas kehutanan Provinsi Maluku memprediksi, akibat dari kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan tanpa memperhatikan azas kelestarian menyebabkan kawasan hutan di Maluku menjadi rusak.

Luas kawasan hutan dilihat dari indikasi lokasi kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi seluas 2.762.754 ha atau mencapai 59% dari total luas hutan maluku. Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dicanangkan tahun 2003, dan kegiatan fisik di Maluku dimulai tahun 2004, dengan realisasi penanaman sampai dengan tahun 2007 sejumlah 14.353,3 ha dari target 23.945 ha. Realisasi penanaman melalui dana DAK-DR seluas 13.772,82 ha dari target 17.806 ha (Kebijakan pembangunan kehutanan di Maluku, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, 2007).

Artinya, upaya rehabelitasi hutan belum juga mencapai titik 50%, masih banyak pekerjaan rumah yang meski dilakukan dalam rangka rehabelitasi hutan di Maluku. Ini bukanlah prestasi melainkan serine peringatan. Seharusnya kerusakan hutan di Maluku yang kronis tersebut mendapatkan perhatian serius pemerintah. Kebijakan untuk eksploitasi hutan di Maluku sama artinya dengan menambah persoalan baru. Bila eksploitasi hutan di Yamdena dan Buru ter-realisasikan, maka kondisi hutan di Maluku akan semakin memprihatinkan. Bukanlah hal yang mustahil bila eksploitasi hutan terus berjalan di Maluku tanpa memperhatikan aspek lingkungan mungkin suatu saat hutan dalam peta Maluku akan lenyap. Ini ketakutan yang cukup beralasan melihat respon pemerintah yang cenderung lambat dan inkonsistensi kebijakan.


Menagih komitmen pemerintah

Sekarang waktu yang tepat untuk menagih komitmen pemerintah. Masyarakat Maluku, khususnya masyarakat Buru dan Yamdena tidak membutuhkan mega proyek beroperasi mengeksploitasi hutan. Hal itu terbukti dari gelombang protes yang mengalir deras. Hutan oleh masyarakat Maluku (Yamdena & Buru) bukan sekadar dimaknai sebagai sumber air, tempat bertani dan bercocok tanam. Namun, posisi hutan sudah terintegrasi kedalam kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat.

Hutan memiliki nilai kesakralan tersendiri. Memuat nilai-nilai adat sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Kelastarian lingkungan dan kelangsungan hidup masyarakat (social, ekonomi, budaya) merupakan hal strategis untuk dijaga dan dilestarikan. Jika kelestarian hutan terancam sama artinya kelangsungan hidup masyarakat setempat dalam segala aspek juga ikut terancam.

Bila eksploitasi hutan oleh pengusaha HPH/IUPHHK dipandang sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah dan mendongkrak ekonomi nasional, maka itu sama artinya pemerintah hendak meminimalisir peran aktif masyarakat dalam membangun ekonomi daerah dan ekonomi nasional.

Kita semua sepakat, bahwa peningkatan ekonomi daerah dan ekonomi nasional harus dilaksanakan. Masyarakat mestinya menjadi subjek bukan objek dalam pembangunan. Bila berbicara pada konteks ekonomi daerah dan nasional maka pengembangan ekonomi haruslah sesuai dengan struktur geografis, lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat.

Penolakan masyarakat atas rencana eksploitasi hutan di Maluku (Yamdena & Buru) merupakan sikap kritis dan kritik atas mode pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokalitas setempat. Bila pemerintah mengindahkan protes tersebut dan tetap merealisasikan pengoperasian eksploitasi hutan di Maluku (Yamdena & Buru) maka sama halnya pemerintah telah melangar hak-hak normatif warga Negara. Pencabutan izin dan peninjauan kembali perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan di Maluku merupakan langkah strategis pemerintah. Sesuai dengan janjinya, turut aktif dalam mengurangi dampak pemanasan global dengan menurunkan emisi karbon nasional.


Mari kita tunggu sikap kesatria pemerintah kita!


Penulis aktif di: Forum Komunikasi Pemuda-Pelajar Indonesia Timur (FKPPIT)

Gambar link