Membangun Komunitas Sadar Madia Massa

Membangun Komunitas Sadar Madia Massa

Bersyukurlah... kita terlahir dan hidup di zaman yang sudah serba canggih. Kemajuan teknologi telah membantu manusia dalam banyak hal. Komunikasi, transportasi dan informasi sudah semakin mudah diakses, kapan pun dan di mana pun anda berada. Dunia kemudian seakan sudah menjadi sebuah desa global. Kita bisa dengan bebas berkomunikasi, berwisata ke segala penjuru dunia, asalkan punya hasrat dan ongkos.

Ummat Media Massa
Salah satu instrument teknologi yang sangat membantu manusia adalah teknologi Informasi-komunikasi. Akses informasi-komunikasi saat ini seakan sudah menjadi kebutuhan primer. Ketika anda terbangun di pagi hari, maka saya dapat menjamin HP adalah barang yang pertama anda cari. Itu salah satu ciri dari masyarakat yang sudah candu informasi-komunikasi.

Selain perangkat informasi yang sifatnya persolan, ada juga perangkat informasi yang sifatnya massal. Contonhnya, TV, Radio, Internet, Majalah, Koran, dll. Kita sudah tidak asing lagi dengan perangkat informasi tersebut. Perangkat informasi-komunikasi yang sudah menjadi menu  wajib bagian dari keseharian.
Ilustrasinya sederhana, berapa jam setiap hari kita duduk di depan TV? Mengakses internet? Membaca majalah atau koran? Kebanyakan dari kita, mampu meluangkan waktu berjam-jam, bahkan berhari2, untuk sekadar nonton gossip, menyimak berita, membaca katalog produk fashion terbaru, bersenda gurau di jejaring sosial, dll.

Intensitas penggunaan (konsumsi) media massa yang tinggi, secara tidak langsung telah membuat manusia tergantung. Ini seumpama rasa sakau yang di alami oleh pencandu narkotika. Media massa lantas sudah menjadi candu public. Perangkat teknologi yang mau-tidak mau sudah menjadi kebutuhan yang harus diakses setiap saat.

Pada perkembangan-nya, kehadiran media massa di Indonesia telah melahirkan kelompok masyarakat baru. Kalasifikasi ini bertumpu pada perangkat media yang dijadikan sumber rujukan atau referensi. Kelompok masyarakat baru tersebut terbagi dalam tiga kategori besar.

Pertama, pencandu media cetak (Koran, majalah, jurnal dll). Kelompok ini pada umumnya adalah masyarakat kelas menegah ke atas yang memiliki hasrat intelektual dan akurasi berita yang tinggi, serta kemampun ekonomi di atas rata-rata.

Kedua, kelompok pencandu media on-line (internet, jejaring social, dll). Kelompok ini identik dengan kelompok masyarakat menengah, terutama yang sudah melek/paham teknologi. Media on-line dijadikan sarana komunikasi, membangun kekerabatan dan bisnis.

Ketiga, kelompok pencandu TV (sinetron, gossip, dll). Kelompok ini identik dengan kalangan menengah kebawah, namun hampir seluruh orang Indonesia menonton acara TV setiap hari. Sehingga dapat dikatakan media TV punya ummat yang paling banyak bila dibandingkan dengan media massa yang lain-nya.

Sadar Media Massa
Kemudahan dalam mengakses media massa berbanding lurus dengan kesadaran manusia. Kenapa bisa demikian? Kita setiap hari menyerap informasi dari media massa, sehingga lama-kelamaan kita muali bergantung pada informasi yang disodorkan oleh media massa. Ketika kita sudah mengalami ketergantungan, kita kemudian merasa bahwa informasi yang disampaikan media massa adalah suatu kebenaran yang layak dipercaya. Media massa akhirnya menjadi sumber kebenaran dalam memahami realitas masyarakat yang kita amini bersama.

Perlu di inggat, media massa adalah industry-bisnis yang orientasi atau tujuan akhirnya adalah keuntungan. Selain keuntungan material, pemilik media massa juga mengejar keuntungan im-material (non materi) yaitu dukungan opini publik. Proses untuk mendapat dukungan opini public dijalankan oleh media massa  dengan bekerja secara sistematis untuk mengolah sedemikian rupa informasi yang diterima sehingga cocok/sejalan dengan kepentingan si pemilik media massa tersebut.

Pada akhirnya informasi yang kita terima adalah hasil konversi (hasil olahan) pekerja media, yang disajikan ke hadapan publik. Media massa sebagai alat bisnis dan alat kepentingan, sudah menjadi warna dominan dalam industry media di Indonesia. Sehingga media massa yang kita konsumsi setiap hari punya kepentingan untuk menguntrol kesadaran dan kehendak publik.

Lompatan Kecil

Kita tidak sedang bersikap anti-pati terhadap media massa. Sampai pada tataran tertentu kita sangat membutuhkan media massa, namun kita juga harus bersikap cerdas dalam memanfaatkan peluang dan kelebihan yang ada dalam media massa tersebut.

Belakangan muncul fenomena-fenomena gerakan sosial yang muncul di media massa terutama situs jejaring sosial. Gerakan anti korupsi, gerakan koin kepedulian, gerakan cinta lingkungan, gerakan donor darah, dll, muncul menerobos sekat-sekat yang selama ini menjadi batas dan menghambat ruang gerak.

Media massa terutama jejaring sosial, bisa menjadi pelipurlara ditengah informasi yang kurang seimbang dari media maenstrim (TV, media cetak). Komunitas-komunitas dengan berbagai latar belakang muncul dan berkembang dan merespon isu-isu yang berkembang. Sekurangnya media massa (jejaring sosial) sudah memberi bukti, bahwa masih banyak orang baik dan punya kepedulian tinggi di negeri ini.

Kini komunitas-komunitas yang dulunya hanya ada di dunia maya, mulai melebarkan perannya yaitu melalui kerja-kerja nyata di lapangan. Agar supaya kerja/aksi social mereka dapat berjalan dengan masimal, pada umumnya komunitas tersebut melebur diri dalam suatu paguyuban atau bahkan organisasi. Hal tersebut dimaksud agar agenda yang mereka rencanakan dapat berjalan maksimal dan terarah. Selain itu, juga untuk memperluas jaringan dan ruang gerak di seluruh Indonesia bahkan dunia.

Hal yang paling menarik adalah hampir semua komunitas-komunitas tersebut digerakan oleh anak-anak muda, pemuda-pemudi yang optimis dan mau berbuat sesuatu untuk orang lain, dan untuk negeri yang dia cintai. Kita sudah sering menjumpai komunitas atau gerakan serupa, baik di dunia maya maupun di alam keseharian.

Semua yang mereka lakukan laksana lautan inspirasi yang bisa kita jadikan batu pijakan untuk kita dapat berbuat hal serupa. Kita masih punya kesempatan, diberi kekuatan dan kemampuan berfikir. Itu adalah modal utama, untuk menguatkan niat dalam diri kita. Mari mulai dengan apa yang kita bisa. Bangun dengan apa yang kita miliki. Setidaknya kita mau belajar dan mau berbuat sesuatu, bekerja sama untuk kebaikan kita semua.


Sumber Gambar
Disusun oleh; Gafur Djali
Peneliti Pada Cakrawala Institute (Pusat Study Untuk Keadilan Pembangunan)

MENCIPTA DAMAI DI MALUKU



MENCIPTA DAMAI DI MALUKU
 
Kondisi Maluku seumpama rumput kering, sedikit percikan api dapat menimbulkan kebakaran sporadis. Hijaukanlah rumput kering tersebut biar semua menikmati kebahagiaan

Layaknya daerah lain di Indonesia, Maluku yang juga disebut negeri seribu pulau adalah daerah yang memiliki keragaman adat-budaya dan masih dijunjung tinggi sampai sekarang. Adat-budaya sudah menjadi satu tautan hidup yang tak dapat dipisahkan, karena Adat-budaya punya rangkaian historis yang memuat unsur estetis dan mengandung pesan etis. Kekayaan dan keragaman adat-budaya menjadi modal dasar yang dapat kita jadikan batu pijakan untuk mencipta damai di Maluku.

Pela-Gandong adalah teknologi-budaya masyarakat Maluku dalam membangun komunitas masyarakat yang harmonis. Pela merupakan suatu hubungan kekeluargaan yang dibangun atas dasar saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya sehingga mereka meng(ikrar)kan diri sebagai saudara. Sedangkan, Gandong adalah ikatan sedarah (adik-kakak) karena berasal dari rahim ibu yang satu.

Pada umumnya ikatan Pela-Gandong yang ada di Maluku mengikat dua entitas (negeri/desa) yang berbeda, terutama dari latar belakang kepercayaan. Ikatan ini kemudian mencipta satu rasa, saling menghargai, saling menghormati dan saling menolong. Seperti yang tersirat dalam falsafah hidup orang Maluku, ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging, katong samua basudara.

Sampai saat ini, kita mesti bersyukur bahwa Pela-Gandong menjadi media efektif dalam mewujudkan perdamaian di Maluku. Lagi-lagi ikatan kekerabatan dan kekeluargaan yang termanifestasikan dalam adat-budaya menjadi alat pemersatu. Sehingga bukan semata dimaknai sebagai serimonial melainkan mengandung unsur spiritual sehingga semuanya tunduk dan menjunjung nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur tersebut.

Rekonsiliasi Seutuhnya
Insiden 11 September kemarin jadi ujian berat bagi upaya rekonsiliasi di Maluku. Insiden tersebut seakan jadi isyarat bahwa upaya rekonsiliasi di Maluku belumlah selesai. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus disegerakan untuk membangun perdamaian seutuhnya. Pada tataran praksis, metode rekonsiliasi dengan partisispasi warga lewat instrument adat-budaya sudah menunjukan hasil yang optimal. Indikator minimalnya adalah komunikasi dan koordinasi dapat berjalan dan mampu mencipta tertib sosial secara menyeluruh di Maluku.

Namun, kita juga harus sadar betul bahwa rekonsiliasi pasca konflik bukan hanya persoalan mencipta hubungan yang harmionis, melainkan bagaimana mengisi hubungan yang harmonis (damai) tersebut. Lantas apa yang harus dikerjakan ketika kedamaian sudah terwujud? Itulah pertanyaan besarnya. Atau lebih spesifik yang terkait dengan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat Maluku.

Rekonsiliasi sejati membutuhkan upaya proporsional, yaitu bangunlah jiwanya dan bangunlah badannya, damailah negerinya dan sejahtera rakyatnya. Pertama (bangunlah jiwanya) dapat dan sudah termanifestasikan dalam nilai-nilai adat-budaya yaitu Pela-Gandong. Sedangkan yang kedua (bangunlah badanya) yaitu kebutuhan badaniah (kesejahteraan) boleh dibilang masih jauh dari harapan dan masih banyak hal yang harus dilakukan.

Damai Sejahtera
Bila berbicara pada tataran pembangunan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan, maka keterlibatan pemerintah menjadi mutlak adanya. Pemerintah daerah punya otoritas dalam menentukan arah pembangunan di Maluku sedangkan pemerintah pusat punya kewajiban untuk mendukung terwujudnya agenda tersebut. Kesuksesan pembangunan suatu Negara atau suatu Provinsi tidak terlepas dari cara pandang dan indikator yang digunakan dari pembangunan kesejahteraan itu sendiri.

Indonesia dalam satu dekade terakhir dicipta sebagai Negara yang ramah investasi asing dan gemar dengan perdagangan bebas. Secara konsepsional terutama pada tataran ekonomi internasional hal itu adalah lumrah. Namun, menjadi kecelakaan ketika potensi dan sumberdaya yang pada awalnya mampu di olah mandiri ternyata sudah dikuasi asing dan anak negeri hanya berharap pada tetes-tetes kekayaan yang urung datang. Konsep ekonomi yang sangat pro-modal dan pro-pasar tadi justru semakin menekan kreatifitas dan potensi masyarakat. Anak negeri menjadi terasing di tanah sendiri, dan kesejahteraan hanyalah mimpi belaka. Ini juga yang berlaku di Maluku atau di daerah lainnya di Indonesia.

Bila kita seksama melihat potensi sumberdaya alam di Maluku, maka kita akan sangat optimis bahwa dengan kekayaan yang sedemikian banyak sudah sepantasnya masyarakat Maluku menikmati kesejahteraannya. Tetapi pertanyaannya kenapa itu urung tercipta? Sekurangnya ada dua persoalan mendasar yaitu sumberdaya manusia dan ketersediaan infrastruktur.

Pertama, peningkatan sumberdaya manusia. Yaitu dengan peningkatan kesempatan dan pembukaan pendidikan formal dengan menyiapkan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan yang berkualitas. Memberikan beasiswa dan kesempatan terbuka bagi anak daerah yang punya potensi dalam porsi yang lebih besar. Pada tataran masyarakat, pemerintah daerah dapat mengadakan pelatihan aplikatif dan bantuan permodalan untuk pengembangan usaha kecil-usaha menegah dengan melibatkan kelompok kerja atau kelompok usaha yang tersebar di desa-desa.

Kedua, Pengembangan infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud menitik beratkan pada sarana transportasi dan penunjang usaha swadaya masyarakat. Mobilisasi manusia, barang dan jasa di Maluku masih sangatlah mahal dan sulit dijangkau sehingga distribusi informasi, barang dan jasa tersendat. Ini mempunyai korelasi dengan keberadaan sektor usaha mandiri (pertanian, perikanan, dan industri rumahan). Infrastruktur seperti jalan, jembatan dan pelabuhan sangat dibutuhkan di Maluku.

Perlu dicatat bahwa upaya dalam mencipta kesejahteraan bukanlah hal mudah seperti menghirup dan menghembuskan nafas. Penciptaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan pembangunan infrastruktur dipandang sebatas stimulus yang mampu merangsang terciptanya kreatifitas masyarakat dalam mengelola alam dan menjawab keterbatasan yang dimiliki.

Bila kebutuhan jiwa dan kebutuhan badan sudah mampu dijawab, kita lantas dapat optimis perdamaian yang seutuhnya akan tercipta. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa rekonsiliasi dan penciptaan kedamaian di Maluku haruslah menyentuh seluru aspek dan melibatkan semua pihak.

Apa artinya kedamaian bila tidak dibarengi dengan kesejahteraan, demikian pula apalah guna kesejahteraan tanpa kedamaian. Keduanya berjalan sinergis, tidak dapat dipisahkan. Dan perdamaian dan kesejahteraan di Maluku menjadi tugas dan kerja nasional kita semua sebagai bukti bahwa kita adalah bangsa beradab.




Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)

HADIAH BOM DI ULANGTAHUN KOTA JOGJA

HADIAH BOM DI ULANGTAHUN KOTA JOGJA  

Jogjakarta diguncang Bom tepat dihari ulang tahunnya yang ke-255 pada 7 oktober 2011. Kejadian kali ini, spontan disangkut pautkan dengan “gerakan terorisme” yang sedang unjuk gigi beberapa waktu belakangan.
Belum tuntas penyelidikan kasus bom Solo, kini giliran aksi serupa terjadi di Jogjakarta. Pelaku aksi terror diduga mengunakan bom molotof yang menghanguskan ATM BRI di Jl Affandi Gejayan, Depok, Sleman, DIY. Dari tempat kejadian pihak berwajib mendapat barang bukti berupa tas yang berisi identitas, yang diduga sebagai pelaku terror tersebut.

Namun ada hal berbeda dan menarik. Selain barang bukti tas dan identitas, juga ditemuka selembar selebaran yang diduga sengaja dibuat oleh kelompok tersebut sebagai bentuk protesnya dan mendeklarasikan dirinya.

Selebaran yang ditemukan di TKP (tempat kejadian perkara) berisikan tentang sikap dan protes kelompok tersebut atas situasi dan ketidak adilan sistim bernegara yang sedang berlangsung. 

Negara-Korporasi-Polisi-Militer Adalah Terorisme Sebenarnya…. Kali ini kami mengatakan, bahwa apa yang kami lakukan merupakan puncak dari semua kegelisahan serta kemarahan kami terhadap sistem yang sedang berjalan ini. Sistem yang memberhalakan uang” (IRF)

Kelompok yang menamakan dirinya International Revolutionary Front (IRF) sengaja menyerang institusi Bank, karena mereka memandang keberlangsungan sistim yang timpang dan diskriminatif di Indonesia disokong sepenuhnya oleh institusi keuangan. Sehingga Bank menjadi sasaran dari ekspresi kemarahan dari kelompok tersebut.

Ekspresi kekecewaan tersebut muncul ketika mereka mendapai bahwa institusi Negara tidak berjalan sebagaimana peran dan fungsinya. Institusi dan perangkat Negara bagi mereka merupakan penindas sejati dan menjadi alat kekuatan borjuis dan kelas pebisnis untuk melegalkan kepentingan segelintir orang.

Sistem yang hanya menguntungkan kaum borjuis, para pebisnis dan para birokrat negara yang menjadi sekutu setianya. Bagi kami semua, ini bukan saatnya untuk diam. Bukan saatnya untuk tenang menonton acara di depan televisi dan berkata bahwa "semua baik-baik saja".(IRF)

Secara terang-terangan kelompok ini mengikrar target dan sasaran yang mereka incar. Lembaga Finansial, Institusi Negara, lembaga kepolisian, Militer adalah target dan sasaran kritik mereka. Dan lembaga lembaga tersebut mereka anggap sebagai teroris sesunggunhnya.

Penyerangan terhadap pusat-pusat finansial: ATM, bank, gedung korporat adalah target yang terpenting, karena mereka adalah tanah salah satu kolaborator yang menyebabkan penderitaan di muka bumi ini”.(IRF) 

Meski bom molotof sudah menghanguskan satu ATM, tetapi mereka menolak dicap sebagai terorisme. Bagi mereka apa yang dilakukan adalah sesuatu yang sudah semestinya dijalankan sebgai bentuk kritik atas segala ketidak adilan yang terjadi di negeri ini. Selain itu, aksi ini bagi mereka juga punya nilai untuk mendukung segala gerakan perlawanan serupa yang ada di Indonesia maupun di Negara lain.


TANDA TANYA?
Peristiwa atau ancaman terror seperti ini, bukanlah hal baru di Indonesia. Namun bila kita kaji dengan seksama, terutama pada sasaran dan pelaku, maka kita akan mendapati modus operandi baru.
Pada umumnya aksi-aksi terror yang selama ini ada bersumber dari gerakan yang di identikan dengan kaum “Islam radikal”. Gerakan tersebut terorganisir dengan sokongan dana yang cukup besar. Selain itu sasaran yang mereka incar adalah simbol-simbol agama, asing (hotel & kedutaan) dan institusi Negara (polisi).
Lantas apa yang berbeda dengan modus operandi yang berlaku pada bom jogja kali ini? Dari selebaran dan sasaran (objek) pengeboman kita bisa melihat ada garis demarkasi yang cukup jauh antara gerakan yang sebelumnya ada dan kelompok bom jogja kali ini.

Sekuarngaya ada tiga hal yang membedakan kelompok bom jogja dengan kelompok yang lainnya.
Pertama, sasaran bom Jogja tertuju pada institusi perbankan (keuangan) yang dianggap sebagai penyokong ketimpangan sistem yang sedang berlangsung. 

Kedua, mereka memilih aksi terbuka dalam menyampaikan tuntutan-tuntutannya. Hal itu bisa dilihat dengan seksama dari selebaran yang ada di TKP yang kemudian diduga sengaja dibuat pelaku.
Ketiga, tuntutan yang mereka lontarkan merupakan kritik atas ketidak adilan yang berlaku. Artinya mereka tidak sedang menuntut pembentukan Negara yang berasaskan agama tertentu, melainkan menuntut perubahan struktural untuk perbaikan yang menyeluruh. 

Kita tentunya melihat ini bukan sebagai factor tunggal. Melinkan sebagai suatu rangkaian kejadian yang punya titik ketersambungan. 

Kita lantas bertanya-tanya:
Apakah tuntutan dan keresahan yang dilontarkan oleh pelaku bom Jogja tersebut adalah ilusi semata ataukah kenyataan yang sudah kita rasakan bersama?

Kenapa aksi-aksi (Bom) selalu muncul ketika konstalasi politik nasional sedang gonjang-ganjing. Ada isu perombakan cabinet, korupsi, kenaikan harga, dll?

Apakah mungkin serangkaian aksi terror tersebut punya hunbungan dengan paket Undang-Undang Keamanan Negara atau dengan Undang-Undang Intelijen yang baru saja disahkan?

Apakah benar, terorosme dan ancama itu selalu datang berupa bom, bukankah perut lapar dan tanah yang tergusur, pengangguran, dan kemiskinan adalah ancaman dan terror serius di negeri kaya ini?

Pertanyaan-pertanyaan diatas mungkin sudah pernah kita pikirkan sebelumnya karena sudah menjadi rahasia publik. Atas dasar alasan apa pun kita semua menyesali dan mengutuk aksi terror dan bom di mana pun dan dalam bentuk apa pun. 

Seperti kata pepatah,
“bila ada yang berbuat jahat pada mu jagan kau balas dengan kejahatan serupa, karena sama artinya kau menyamakan dirimu dengan penjahat tersebut”



Djali Gafur
Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)

Membaca Ulang Ambisi ASEAN Economic Community


Membaca Ulang Ambisi ASEAN Economic Community



Target Visi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 terancam molor. Pasalnya, upaya ambisius sekaligus prestisius tersebut sedang menghadapi ujian berat. Gejolak krisis ekonomi-politik global adalah ujian pertama yang harus segara di respon ASEAN. Kesiapan internal terutama keamanan regional dan kekuatan fundamental ekonomi nasional adalah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan ASEAN. Lantas, bila kedua ujian tersebut tidak mampu dilalui ASEAN, masihkah kita optimis ASEAN Economic Community 2015 dapat terlaksana?

Kota Manado, Sulawesi Utara beberapa hari lalu disibukkan dengan pertemuan para menteri ekonomi ASEAN (Economic Ministerial Meeting) ke-43 yang berlangsung pada 10-14 Agustus 2011. Pertemuan dihadiri oleh 18 negara, yakni 10 negara anggota ASEAN, dan 8 negara mitra. Adapun kedelapan Negara mitra dialog tersebut adalah Amerika Serikat, Korea Selatan, China, Rusia, Jepang, India, Australia, dan New Zealand. Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari upaya bersama untuk mewujudkan ASEAN Economic Community (AEC) terlaksana tepat waktu pada 2015.

Ada dua agenda utama yang menjadi fokus pembahasan yaitu; (1) ASEAN investment area dan (2) ASEAN FTA free trade agreement. Pembahasan tersebut kemudian terbagi dalam dua pertemuan besar yaitu ASEAN FTA Council, yang terdiri dari semua menteri ekonomi negara anggota ASEAN dan juga pertemuan ASEAN Economic Minister plus negara-negara dialog partner. Dan yang terpenting adalah melahirkan Guiding principles ASEAN Framework for Equitable Development in ASEAN, merupakan pedoman (teknis) bagi semua institusi di bawah ASEAN Economic Community Council dalam upaya mengatasi kesenjangan pembangunan dan mewujudkan ASEAN 2015.


Menuju ASEAN Economic Community

ASEAN Economic Community (AEC) adalah upaya bersama untuk mencipta kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki daya saing tinggi, pembangunan ekonomi yang merata dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. ASEAN empat tahun kedepan dibayangkan sebagai suatu kawasan yang telah terintegrasi total layaknya Uni Eropa saat ini. Untuk mewujudkan semua itu dibuatlah AEC Blueprint sebagai pedoman bagi Negara-negara anggota ASEAN mencapai target 2015.

AEC Blueprint memuat empat kerangka kerja utama yaitu, pertama, ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas. Kedua, ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-commerse. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata, dengan elemen pembangunan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk Negara-Negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam). Keempat, ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Dari ke empat pilar tersebut, saat ini pilar pertama yang masih menjadi perhatian ASEAN.


Tantangan ASEAN Economic Community

Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, secara kolektif, total perdagangan ASEAN dengan dunia dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Yaitu mencapai 1.89 triliun dollar AS pada tahun 2008, tahun 2009 sempat turun menjadi 1.53 triliun dollar AS dan kembali menanjak menjadi 2.04 triliun dollar AS pada 2010. Dari total tersebut angka perdagangan intra-ASEAN senilai 470 miliar dollar AS pada tahun 2008, 376 miliar dollar AS pada 2009, dan 519 miliar dollar AS pada 2010.

Peningkatan volume perdagangan merupakan gejala positif. Tetapi kita juga tidak bisa ingkar bahwa perkembangan di atas cenderung berjalan lambat dan fluktuatif. Upaya ambisius untuk mewujudkan visi ASEAN sedang dalam ujian berat dan terancam gagal. Setidaknya ada dua indikator (faktor) yang memberi alasan logis ancaman antiklimaks pertemuan ASEAN Economic Community di Manado kali ini.

Pertama, Faktor Internal. Ada empat komponen utama dalam AEC yang ditargetkan akan terlaksana pada 2015 nanti, namun tinggal empat tahun dari waktu yang ditentukan ASEAN hanya baru mampu melaksanakan komponen pertama yaitu ASEAN sebagai pasar tunggal, itu pun belum terlaksana secara total masih perlu tambal sulam di banyak lini.

Dari segi kesiapan ekonomi internal Negara ASEAN di nilai masih lemah. Ada kesenjangan ekonomi antar Negara ASEAN yang terlampau jauh, sehingga intergrasi ekonomi justru semakin membuat kesenjangan ekonomi semakin kimpang. Ambil contoh Indonesia. Pasca satu tahun bergulirnya ASEAN-China Free Trade Area, Indonesia dinilai gagal dalam meningkatkan volume perdagangan eksternalnya. Barang-barang impor China membanjiri pasar domestik sehingga memaksa pengusaha terutama kecil-menengah harus gulung tikar, kalah bersaing dengan China yang memiliki modal besar, produktivitas tinggi dan harga murah. Atau yang paling memilukan, pada Juli 2011 saja Indonesia telah meng-impor 298.925 ton garam dari China, India dan Australia.

Dari aspek keamanan. Investasi, perdagangan atau kegiatan ekonomi apa pun sangat membutuhkan stabilitas keamanan. ASEAN merupakan kawasan yang sangat rawan konflik baik internal maupun antar Negara. Indonesia dan Malaysia masih bersetegang seputar perbatasan dan pengaturan tenaga kerja. Thailand dan Kamboja masih sering bakutembak diperbatasan kedua Negara. China dan Vietnam saling sikut soal kepulauan Spartle. Austaralia, Timor Leste dan Indonesia juga terjelembab dalam sengketa Celah Timor. Contoh kasus di atas semakin membuat kita pesimis melihat peluang integrasi ASEAN terlaksana 2015 nanti.

Kedua, Faktor Eksternal. Pesimisme itu semakin menguat tatkala mendapati perkembangan ekonomi-politik internasional yang cenderung konfliktual beberapa bulan terakhir. Situasi internasional bagai banjir bandang yang tak mampu diprediksi mana hulu dan kemana muaranya. Afrika Utara terjebak dalam uforia demokrasi yang ternyata melahirkan perang saudara. Eropa masuk dalam labirin krisis keuangan yang sedang mengancam integritas dan keberlangsungan Uni Eropa. Jepang didera bencana Sunami disusul krisis nuklir ditambah dengan krisis anggaran akibat hutang Negara yang semakin menggunung.

Belum terhenti disitu. Amerika sebagai salah satu lumbung ekonomi dunia sedang di ujung tanduk. Hutang AS kini mencapai 16,30 triliun dolar AS atau melebihi produk domestik bruto (PDB) AS yang hanya 14,6 triliun dolar AS. Krisis anggaran tersebut seketika berpengaruh bagi keberlangsungan ekonomi AS bahkan global, mengingat dolar AS selama ini digunakan sebagai barometer ekonomi-perdagangan dunia.

China merespon agresif krisis AS kali ini, terutama pasca Standart & Poor’s dan Moody’s Investor Service mengumumkan penurunan peringkat hutang AS dari AAA menjadi AA+. Pemerintah China sangat khawatir dengan keamanan (penyusutan nilai) dua pertiga dari cadangan devisa China 2,3 triliun dolar AS ditempatkan dalam asset berdonominasi dolar AS. Krisis Aggaran dan penurunan peringkat AS tersebut akan mengoyahkan integritas AS dan mata uang dolar sebagai mata uang internasional.

Melihat gejala-gejala diatas, membuat kita teringat dengan wacana super ambisius tentang pembentukan bank sentaral dunia dengan sistem dan mata uang tunggal yang diusulakan Amerika dan Eropa. Dan pada sisi lain China lantang bersuara mengusulkan penerbitan mata uang internasional baru pengganti dolar AS. Kedua wacana tersebut dapat dimaknai sebagai isyarat atas kebuntuan dari gelombang krisis tiada henti.

Sebagai Orgaisasi yang mengimpikan integrasi regional layaknya Uni Eropa, maka ASEAN juga harus cerdas dalam menentukan sikap dan langkah kedepan. Mengingat Uni Eropa sedang ada dalam krisis akut dan seakan skema yang telah mereka rancang selama puluhan tahun runtuh seketika.

Pertemuan Manado ternyata belum mampu melahirkan resolusi-resolusi yang akan merubah ASEAN sebagai salah satu aktor aktif internasional, penentu arah ekonomi global ke depan. ASEAN selama ini seakan menjadi “sapi perah” korporasi-korporasi besar, objek sasaran tujuan investasi Negara-negara kaya. Kesiapan internal baik ekonomi nasional maupun keamanan regional serta cerdas dalam membaca peluang ditengah arus politik-ekonomi global akan menjadi kunci mencapai target Visi masyarakat ASEAN 2015.



Pernah dimuat di Radar Ambon, 20 Agustus 2011

kembali diterbitkan atas dasar pendidikan

Djali Gafur

Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute

(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)

TUMBAL KONSTELASI POLITIK GLOBAL



TUMBAL KONSTELASI POLITIK GLOBAL

Oleh; Gafur Djali

Dunia sedang memasuki babak baru menuju suatu tata dunia global yang lebih dinamis. Persoalan kali ini lebih rumit dari sekadar dikotomi kepentingan ekonomi-politik (baca: Geopolitik) yang pernah melibatkan Kapitalisme vs Sosialisme dua dekade lalu. Perang dingin telah usai tetapi jangan lupa perang itu belum hilang dari ingatan sadar manusia sehingga kita insaf bahwa pertarungan antara dua kutub tersebut masilah ada.

Kapitalisme mampu bermetamorvosis sesuai tuntutan zaman, begitu juga dengan Sosialisme. Katakanlah simbol dari kekuatan Kapitalisme adalah Amerika dan Negara-Negara Eropa Barat. Mereka memiliki sejarah dan struktur ekonomi yang boleh dibilang cukup mapan bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia. Tetapi jangan lupa pula, bahwa Uni Soviet boleh bubar namun bukan berarti dalam satu “kibasan pedang” Sosialisme hilang dari muka bumi. Lihatlah Blok Amerika Latin atau China, mereka bisa jadi contoh dari metamorvosis dari Sosialisme itu sendiri. China bahkan mampu mengejutkan dunia dengan mengakawinkan Sosialisme dan Kapitalisme dalam satu rezim yang harmonis.

Ini akan jadi diskursus menarik, karena pokok persoalan sesungguhnya bukan terletak pada pilihan ideologi Sosialisme atau Kapitalisme. Tetapi melacak substansi dari kedua poros dominan ini dan memahami hubungan dialektik antara dua kutub tersebut. Sehingga kita sadar sebelum memutuskan mengambil jalan Sosialisme, mengadopsi Kapitalisme atau kembali menghidupkan Gerakan Non Blok.


Mengintip Kuasa Kapital

Sosialisme maupun Kapitalisme dibangun di atas materialisme sejarah yang tunggal, yaitu masyarakat industri di Eropa. Kapitalisme lahir dari praktek ekonomi-politik liberal yang mengakomodasi kepentingan orang per orang atau kongsi-kongsi dagang. Mereka adalah aktor dominan yang mendominasi penguasaan atas aset kapital. Negara ditempatkan sebagai mediator antara kepentingan ekonomi kongsi-kongsi dagang dengan kepentingan masyarakat secara umum.

Begitupun Sosialisme, lahir dari kritik atas praktek Kapitalisme dalam ekonomi liberal. Liberalisasi ternyata hanya menguntungkan sekelompok orang, karena negara sudah beralih fungsi menjadi penyokong kepentingan kelas dominan. Sehingga kepentingan masyarakat kebanyakan mulai tersisihkan. Sosialisme menghendaki segala aset kekuatan kapital dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh negara. Negara memegang supremasi tertinggi sebagai aktor dominan dalam ekonomi-politik.

Pada akhirnya kedua ideologi ini sejatinya bermuara pada hakekat yang esa yaitu transformasi ekonomi-politik untuk kuasa kapital. Kapital adalah lokomotif utama yang sangat dibutuhkan oleh Sosialisme maupun Kapitalisme dalam membangun basis material kuasanya. Sebelum sampai pada kuasa kapital, sekurangnya ada lima komponen ekonomi-politik fundamental yang harus dikuasai terlebih dahulu. Bahan baku (sumberdaya alam), tenaga kerja (sumberdaya manusia), alat produksi (teknologi), kekuatan modal (finansial/uang) dan akses pasar (konsumsi massal), itulah kelima komponen utama tak terbantahkan yang sangat dibutuhkan untuk menyusun kuasa kapital.

Penguasaan kelima komponen tersebut akan sangat membantu dalam mencipta struktur ekonomi-politik yang mapan. Kerena sifatnya yang fundamental, akses terhadap kelima komponen ini cenderung bersifat konfliktual karena melibatkan banyak kelompok kepentingan di dalamnya. Pada tataran politik global (politik internasional) konflik yang muncul dapat bersifat konflik terbuka (perang terbuka) atau konflik tertutup (pertarungan ideologi), bahkan dalam suatu kondisi tertentu kedua konflik ini bisa berjalan bersamaan. Pada titik inilah bias ideologi terkuak. Ideologi menjadi sistem perlindungan kekuasaan oleh kelas dominan. Status Quo dipertahankan dan diperkuat demi kepentingan ekonomi-politik.


Peta Ekonomi-Politik Global

Alkisah bermula ketika ekonomi Amerika terjebak dalam krisis finansial yang berkecamuk semenjak pertengahan 2007. Krisis kali ini sepadan dengan Great Depression 1930 yang melumpuhkan seluruh sektor ekonomi Amerika, Eropa bahkan dunia. Ketika itu, dunia terjebak dalam keadaan malaise. Keadaan serba sulit dan terjadi kelesuan disegala sektor. Perdagangan internasional sejenak terhenti karena hampir seluruh negara menutup keran ekspor maupun impor dan terpaku pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Situasi ini berlangsung cukup lama sampai pecah perang dunia II 1939-1945.

Pasca perang dunia II diluncurkan suatu megaproyek (baca: Marshall Plan) untuk pembangunan kembali Eropa pasca perang. Upaya ini dimotori Amerika. Untuk mensukseskan megaproyek tersebut, dibentuklah tiga lembaga yang memiliki fungsi dan peran membangun dan mengelola ekonomi-politik internasional. IMF (memonitor terkait kebijakan moneter dan fiskal) World Bank (mengawasi pembangunan infrastruktur) dan GATT (mengatur pertukaran dan perdagangan internasional). Kehadiranan Marshall Plan mampu menghadirkan keseimbangan ekonomi global di bawah kontrol Amerika Serikat.

Kembali pada kekinian. Selama kurun waktu 2007 sampai dengan 2010 dunia terjebak dalam kekhawatiran stagnasi ekonomi. Perasaan itu cukup beralasan mengingat Amerika secara global menyumbang hampir 20% dari total pertumbuhan ekonomi dunia dengan konsumsi minyak bumi mencapai 10 juta barel perhari. Krisis Amerika sejatinya adalah krisis finansial (krisis keuangan) akibat praktek rekayasa finansial yang memicu kridit macet.

Amerika sendiri mengalami kelesuan ekonomi yang berujung pada pemutusan hubungan kerja dan kebangkrutan perusahaan multinasional dan transnasional. Secara umum ada tiga dampak global dari krisis tersebut. Pertama, peningkatan harga komoditas terutama pangan dan minyak bumi. Kedua, kebuhan likuiditas (alat bayar atau uang) untuk pemenuhan konsumsi atau usaha. Ketiga, relokasi kapital (investasi) ke negara atau kawasan lain yang dinilai aman dan menguntungkan.


Tumbal Konstalasi Politik Global

Meski telah mengucurkan triliunan dollar AS, itu semua belum juga mampu menjinakan bola salju krisis. Dalam tempo yang cukup singkat, dunia dilanda krisis serupa. Fenomena penularan krisis finansial tergolong cepat karena modernisasi dan integrasi sistem finansial global telah mempermudah tansaksi dan perpindahan investasi (baca: uang) dari negara satu ke negara lain dan atau dari perusahaan satu ke perusahaan lain yang mampu terlaksana dalam hitungan detik. Berbagai forum internasional digelar untuk menjinakan krisis, namun itu semua berakhir nihil. Dunia frustrasi sehingga arogansi jadi wajah dominan dalam politik global.

Lantas apa korelasi antara krisis Krisis finansial Amerika yang telah menjadi krisis global dengan “revolusi” (suksesi) politik di Afrika Utara? Kita semua menyadari bahwa negara-negara Afrika Utara seperti Tunisia, Mesir, Libya adalah negara-negara produsen minyak. Dalam upaya pemulihan ekonominya, Amerika membutuhkan pasokan minyak bumi yang stabil dengan harga terjangkau untuk mengerakan industri dan perekonomian secara menyeluruh. Katakanlah salah satu kepentingan Amerika adalah akses energi (minyak bumi) di Afrika Utara. Selain itu, negara-negara Afrika Utara adalah bekas jajahan negara-negara Eropa yang mesih memiliki kepentingan ekonomi dan ikatan politik dengan bekas negara jajahannya. Sedangkan di sisi lain, China dan Blok Amerika Latin sedang mengadu-nasib membangun kepentingan ekonomi di Afrika Utara.

Di sini muncul permasalahan baru, yaitu benturan kepentingan antara Eropa, Amerika, China dan Blok Amerika Latin terkait perebutan penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kapital di Afrika Utara. Sejarah selalu berulang, begitu kata para filusuf. Layaknya malaise ekonomi era great depression yang melahirkan Perang Dunia II. Sekarang dunia sedang ditantang untuk tidak mengulang kesalahan sejarah. Cukup sudah banjir darah airmata tumbal kepentingan politik global demi kuasa kapital yang menyelimuti Afrika Utara dan Timur-Tengah. Ini jadi perhatian dan keprihatinan kita semua. Sehingga kita waspada membaca angin perubahan politik global yang selalu meminta tumbal.






NB: Sumber Gambar