Membaca Ulang Ambisi ASEAN Economic Community


Membaca Ulang Ambisi ASEAN Economic Community



Target Visi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 terancam molor. Pasalnya, upaya ambisius sekaligus prestisius tersebut sedang menghadapi ujian berat. Gejolak krisis ekonomi-politik global adalah ujian pertama yang harus segara di respon ASEAN. Kesiapan internal terutama keamanan regional dan kekuatan fundamental ekonomi nasional adalah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan ASEAN. Lantas, bila kedua ujian tersebut tidak mampu dilalui ASEAN, masihkah kita optimis ASEAN Economic Community 2015 dapat terlaksana?

Kota Manado, Sulawesi Utara beberapa hari lalu disibukkan dengan pertemuan para menteri ekonomi ASEAN (Economic Ministerial Meeting) ke-43 yang berlangsung pada 10-14 Agustus 2011. Pertemuan dihadiri oleh 18 negara, yakni 10 negara anggota ASEAN, dan 8 negara mitra. Adapun kedelapan Negara mitra dialog tersebut adalah Amerika Serikat, Korea Selatan, China, Rusia, Jepang, India, Australia, dan New Zealand. Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari upaya bersama untuk mewujudkan ASEAN Economic Community (AEC) terlaksana tepat waktu pada 2015.

Ada dua agenda utama yang menjadi fokus pembahasan yaitu; (1) ASEAN investment area dan (2) ASEAN FTA free trade agreement. Pembahasan tersebut kemudian terbagi dalam dua pertemuan besar yaitu ASEAN FTA Council, yang terdiri dari semua menteri ekonomi negara anggota ASEAN dan juga pertemuan ASEAN Economic Minister plus negara-negara dialog partner. Dan yang terpenting adalah melahirkan Guiding principles ASEAN Framework for Equitable Development in ASEAN, merupakan pedoman (teknis) bagi semua institusi di bawah ASEAN Economic Community Council dalam upaya mengatasi kesenjangan pembangunan dan mewujudkan ASEAN 2015.


Menuju ASEAN Economic Community

ASEAN Economic Community (AEC) adalah upaya bersama untuk mencipta kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki daya saing tinggi, pembangunan ekonomi yang merata dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. ASEAN empat tahun kedepan dibayangkan sebagai suatu kawasan yang telah terintegrasi total layaknya Uni Eropa saat ini. Untuk mewujudkan semua itu dibuatlah AEC Blueprint sebagai pedoman bagi Negara-negara anggota ASEAN mencapai target 2015.

AEC Blueprint memuat empat kerangka kerja utama yaitu, pertama, ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas. Kedua, ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-commerse. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata, dengan elemen pembangunan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk Negara-Negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam). Keempat, ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Dari ke empat pilar tersebut, saat ini pilar pertama yang masih menjadi perhatian ASEAN.


Tantangan ASEAN Economic Community

Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, secara kolektif, total perdagangan ASEAN dengan dunia dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Yaitu mencapai 1.89 triliun dollar AS pada tahun 2008, tahun 2009 sempat turun menjadi 1.53 triliun dollar AS dan kembali menanjak menjadi 2.04 triliun dollar AS pada 2010. Dari total tersebut angka perdagangan intra-ASEAN senilai 470 miliar dollar AS pada tahun 2008, 376 miliar dollar AS pada 2009, dan 519 miliar dollar AS pada 2010.

Peningkatan volume perdagangan merupakan gejala positif. Tetapi kita juga tidak bisa ingkar bahwa perkembangan di atas cenderung berjalan lambat dan fluktuatif. Upaya ambisius untuk mewujudkan visi ASEAN sedang dalam ujian berat dan terancam gagal. Setidaknya ada dua indikator (faktor) yang memberi alasan logis ancaman antiklimaks pertemuan ASEAN Economic Community di Manado kali ini.

Pertama, Faktor Internal. Ada empat komponen utama dalam AEC yang ditargetkan akan terlaksana pada 2015 nanti, namun tinggal empat tahun dari waktu yang ditentukan ASEAN hanya baru mampu melaksanakan komponen pertama yaitu ASEAN sebagai pasar tunggal, itu pun belum terlaksana secara total masih perlu tambal sulam di banyak lini.

Dari segi kesiapan ekonomi internal Negara ASEAN di nilai masih lemah. Ada kesenjangan ekonomi antar Negara ASEAN yang terlampau jauh, sehingga intergrasi ekonomi justru semakin membuat kesenjangan ekonomi semakin kimpang. Ambil contoh Indonesia. Pasca satu tahun bergulirnya ASEAN-China Free Trade Area, Indonesia dinilai gagal dalam meningkatkan volume perdagangan eksternalnya. Barang-barang impor China membanjiri pasar domestik sehingga memaksa pengusaha terutama kecil-menengah harus gulung tikar, kalah bersaing dengan China yang memiliki modal besar, produktivitas tinggi dan harga murah. Atau yang paling memilukan, pada Juli 2011 saja Indonesia telah meng-impor 298.925 ton garam dari China, India dan Australia.

Dari aspek keamanan. Investasi, perdagangan atau kegiatan ekonomi apa pun sangat membutuhkan stabilitas keamanan. ASEAN merupakan kawasan yang sangat rawan konflik baik internal maupun antar Negara. Indonesia dan Malaysia masih bersetegang seputar perbatasan dan pengaturan tenaga kerja. Thailand dan Kamboja masih sering bakutembak diperbatasan kedua Negara. China dan Vietnam saling sikut soal kepulauan Spartle. Austaralia, Timor Leste dan Indonesia juga terjelembab dalam sengketa Celah Timor. Contoh kasus di atas semakin membuat kita pesimis melihat peluang integrasi ASEAN terlaksana 2015 nanti.

Kedua, Faktor Eksternal. Pesimisme itu semakin menguat tatkala mendapati perkembangan ekonomi-politik internasional yang cenderung konfliktual beberapa bulan terakhir. Situasi internasional bagai banjir bandang yang tak mampu diprediksi mana hulu dan kemana muaranya. Afrika Utara terjebak dalam uforia demokrasi yang ternyata melahirkan perang saudara. Eropa masuk dalam labirin krisis keuangan yang sedang mengancam integritas dan keberlangsungan Uni Eropa. Jepang didera bencana Sunami disusul krisis nuklir ditambah dengan krisis anggaran akibat hutang Negara yang semakin menggunung.

Belum terhenti disitu. Amerika sebagai salah satu lumbung ekonomi dunia sedang di ujung tanduk. Hutang AS kini mencapai 16,30 triliun dolar AS atau melebihi produk domestik bruto (PDB) AS yang hanya 14,6 triliun dolar AS. Krisis anggaran tersebut seketika berpengaruh bagi keberlangsungan ekonomi AS bahkan global, mengingat dolar AS selama ini digunakan sebagai barometer ekonomi-perdagangan dunia.

China merespon agresif krisis AS kali ini, terutama pasca Standart & Poor’s dan Moody’s Investor Service mengumumkan penurunan peringkat hutang AS dari AAA menjadi AA+. Pemerintah China sangat khawatir dengan keamanan (penyusutan nilai) dua pertiga dari cadangan devisa China 2,3 triliun dolar AS ditempatkan dalam asset berdonominasi dolar AS. Krisis Aggaran dan penurunan peringkat AS tersebut akan mengoyahkan integritas AS dan mata uang dolar sebagai mata uang internasional.

Melihat gejala-gejala diatas, membuat kita teringat dengan wacana super ambisius tentang pembentukan bank sentaral dunia dengan sistem dan mata uang tunggal yang diusulakan Amerika dan Eropa. Dan pada sisi lain China lantang bersuara mengusulkan penerbitan mata uang internasional baru pengganti dolar AS. Kedua wacana tersebut dapat dimaknai sebagai isyarat atas kebuntuan dari gelombang krisis tiada henti.

Sebagai Orgaisasi yang mengimpikan integrasi regional layaknya Uni Eropa, maka ASEAN juga harus cerdas dalam menentukan sikap dan langkah kedepan. Mengingat Uni Eropa sedang ada dalam krisis akut dan seakan skema yang telah mereka rancang selama puluhan tahun runtuh seketika.

Pertemuan Manado ternyata belum mampu melahirkan resolusi-resolusi yang akan merubah ASEAN sebagai salah satu aktor aktif internasional, penentu arah ekonomi global ke depan. ASEAN selama ini seakan menjadi “sapi perah” korporasi-korporasi besar, objek sasaran tujuan investasi Negara-negara kaya. Kesiapan internal baik ekonomi nasional maupun keamanan regional serta cerdas dalam membaca peluang ditengah arus politik-ekonomi global akan menjadi kunci mencapai target Visi masyarakat ASEAN 2015.



Pernah dimuat di Radar Ambon, 20 Agustus 2011

kembali diterbitkan atas dasar pendidikan

Djali Gafur

Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute

(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)