Lembaga Survei Lebih Baik Dan Lebih Dicintai Dari Pada Orde Baru Atau Orde Reformasi

Beberapa hari ini kita disibukan dengan hasil survei salah satu lembaga survei (indobarometer) terkait dengan “Evaluasi 13 tahun Reformasi dan 18 bulan pemerintahan SBY – Boediono”. Hasilnya 40,9% responden mempersepsikan bahwa Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi. Hanya setengahnya, atau 22,8% responden yang mengatakan bahwa Orde Reformasi lebih baik. Pengumpulan data berlangsung 10 hari ini (25 April–4 Mei 2011) dengan jumlah respondeng sebesar 1200 orang (margin of error sebesar ± 3,0% pada tingkat kepercayaan 95%) yang lokasi quesioner tersebar di 33 Provinsi di seluruh Indonesia. (www.indobarometer.com).

Saya tidak mau terlena dengan perdebatan orde mana yang paling di cintai rakyat atau orde mana yang paling berhasil. Karena kita tidak dapat melihat itu (orde-orde) sebagai sesuatu yang terpisah-pisah (parsial) melainkan satu dengan yang lainnya memiliki hubungan sebab akibat. Di sini saya akan sedikit menyoroti terkait lembaga survei dan legitimasi politik yang hedak dicipta. Atau mungkin saja lembaga survei lebih baik dan lebih di cintai rakyat di bandingkan dengan Orde Baru atau Orde Reformasi?


Riwayat Lembaga Survei

Salah satu fenomena menarik dari demokrasi modern (baca: demokrasi prosedural) adalah dengan munculnya lembaga-lembaga survei. Di beberapa negara maju yang mengadopsi sistem demokrasi Eropa Kontinental-Anglo-Saxon atau demokrasi liberal ala Amerika, kehadiran lembaga survei sudah menjadi kemutlakan dalam percaturan politik domestik maupun politik internasional. Pada umumnya setiap negara memiliki lembaga survei yang di kontrol oleh pemerintah, contonya BPS (Badan Pusat Statistik) di Indonesia. Berdasar pada asas nonintervensi dan indenpendensi maka muncul lembaga-lembaga survei yang berada diluar payung pemerintah.

Lembaga-lembaga ini bekerja secara independen tanpa asupan dana dari pemerintah, suplai dana banyak berasal dari pihak ketiga yang hendak mengunakan jasanya. Model survei yang digunakan adalah metode kualitatif dengan penyebaran sempling (quisioner tertutup) secara acak kepada beberapa orang (responden) di beberapa tempat (lokasi penelitian) sesuai dengan prosedur tertentu. Quisioner tertutup merupakan model jajak pendapat yang jawabannya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh lembaga survei dengan model pilihan, sehingga responden tidak dapat bebas beropini. Tujuannya untuk mengetahui tanggapan penerima quisioner atas pertanyaan telah yang diajukan. Dan lembaga survei akan menarik suatu benang merah yang sifatnya umum (generalisasi).

Lembaga survei memang superior, dia punya kemampuan mencipta. Kenapa demikian? Ambil contoh, bila anda hendak mencalonkan diri maju dalam pemilihan lurah (kepala desa) dan anda menyadari sepenuhnya bahwa kemungkinan untuk menang tipis karena ternyata anda kurang populer di desa anda. Tapi, anda hanya punya satu keunggulan yaitu kemampuan finansial. Maka, saya sarankan anda untuk segera menghubungi lembaga survei. Keadaan pasti akan berbalik, dengan mekanisme kerjanya yang sitematis lembaga survei mampu mencipa anda sebagai tokoh yang karismatik, berkemampuan dan layak menjadi lurah.

Itu contoh kecil, karena pada praktekya dibeberapa tempat terutama ketika pemilihan di daerah (PIKADA) baik pada level Provinsi atau Kabupaten/Kota lembaga survei sangat evektif. Bagaimana tidak, selain meningkatkan reting politik seseorang, dengan hasil survei yang telah diperoleh lembaga ini juga sekaligus menjadi juru kampanye si calon. Dan wal hasil 90% kisah survei banyak mengantarkan si calon pengguna jasa lembaga survei ke tampuk kekuasaan.

Awalnya jasa lembaga survei digunakan oleh produsen (perusahaan) untuk mensurvei pasar terkait dengan barang hasil produksi dan selera pasar. Ini sangat membantu kerja-kerja perusahaan dalam memproduksi barang agar mampu di serap pasar dan juga membangun pencitraan produk dan perusahaan di mata konsumen. Lambat laun, survei masuk ke ranah sosial-politik, untuk mengetahun tingkat kepercaayaan, kepuasan publik atas program, kebijakan politik atau politikus. Perubahan ranah garapan tidak serta merta merubah sifat dan prinsip lembaga survei. Ia tetap ada dan hadir dengan wajah tanpa menghilangkan sifat dan prinsip aslinya, yaitu usaha jasa yang mengabdi pada si empunya hajatan, demi mendapatkan laba (keuntungan) bagi lembaga survei tersebut.

Atau secara sederhana sifat dan prinsip lembaga survei adalah transaksional-ekonomistik. Pengelola lembaga survei mengiginkan keuntungan finansial dan penguna lembaga survei mengiginkan keuntungan berupa pencitraan dan legitimasi (sosial-politik). Sehingga boleh saya katakan, layaknya transaksi barang dan jasa yang pernah kita lakukan sehari-hari, yaitu untuk kepuasan si pembeli atau si pengguna jasa dan kebahagiaan si penjual atau si penyedia jasa.

Dan kita layaknya orang-orang yang tetap cuek mondar mandir di pasar yang sepi...



Gafur Djali (Jogja, 18,05,2011)

gambar