RESISTENSI PENDIDIKAN NASIONAL



Djali Gafur

Dunia pendidikan bukanlah hal baru di negeri ini. Dunia pendidikan telah tumbuh dan berkembang di Indonesia seiring dengan perkembangan masyarakat dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara historis perkembangan pendidikan sudah ada sejak zaman sriwijaya. Ketika itu banyak berdiri sangar-sangar belajar yang menjadi salah satu pusat pembelajaran agama Hindu terbesar di kawasan asia tengara.

Samapai saat ini paktis telah satu abad lebih kita bersentuhan dengan model pendidikan formal model eropa pasca diberlakukannya politik etis pada era Kolonial Belanda. Disadari atau tidak Model pendidkan Belanda inilah yang menjadi fondasi bagi pendidikan nasional kita saat ini. Dalam praktek politik etis, pendidikan merupakan salah satu item kebijakan yang mesti diterapkan, kenyataannya out put pendidikan tersebut ternyata hendak menciptakan tenaga murah produktif yang akan dipekerjakan di pabrik-pabrik Belanda dan sebagian menjadi Pamong praja kolonial (Pegawai kolonial). Pendidikan ketika itu justru mengukuhkan kekuasaan Kolonial Belanda di Indonesia.

Sebagai Negara pasca colonial kita tidak mungkin dapat lepas begitu saja dari maenstrem berfikir yang telah ditanam semenjak Kolonial berkuasa. Pola fikir ini memandang bahwa pendidikan formal sebagai sarana tunggal untuk mencapai kesejateraan. Bila anda tidak mengecap pendidikan formal maka masa depan anda suram dan bila anda mengecap pendidikan formal maka masa depan anda akan terjamin. Common sense (perasaan kolektif) inilah yang menjadi legitimasi pengumutan biaya pendidikan karena pendidikan formal akan menjamin kesejateraan maka anda harus membayar sekian rupiah untuk operasionalisanya. Dunia pendidikan kemudian kehilangan spiritnya sebagai pembentuk karakter anak bangsa, lantas beralih fungsi beranjak menjadi industri pendidikan yang kita kenal dengan istilah industrialisasi pendidikan. Ini adalah oportunisme nyata yang menghantui dunia pendidikan kita.

Bila diteliti lebih mendalam, membandingkan antara out put pendidikan Indonesia era kolonial dengan era millennium ini, maka kita akan menemukan satu fakta mencengangkan sekaligus menyedihkan. Ternyata tidak ada yang membedakan out put pendidikan sekarang dengan out put pendidikan era kolonial. Artinya, dunia pendidikan nasional kita belum beranjak sama sekali, atau lebih ekstrimnya dunia pendidikan kita belum merdeka.

Bila dunia pendidikan kita belum merdeka. Lantas, sampai sejauh mana pendidikan nasional kita mampu membentuk manusia yang berintegritas dan berkarakter sesuai dengan spirit pendidikan yaitu memanusiakan manusia?

Memaknai dunia pendidikan, tidak dapat disempitkan hanya pada pendidikan formal atau informal namun kita haruslah memahami pendidikan secara universal. pendidikan dipandang sebagai upaya sadar manusia dalam memahami diri sendiri dan lingkunganya atau upaya manusia dalam memahami interaksi antara makro kosmos dan mikro kosmos (manusia dengan manusia dan manusi dengan alam raya).

Pada konteks Indonesia ada dua hal yang meski disiapakan untuk mengembalikan spirit pendidikan yaitu, pertama produktifitas pendidikan dan kedua pendidikan berbasis local wisdom.

Pertama, produktifitas pendidikan. Hal mendasar yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup adalah makan bila tidak makan maka manusia akan mati. Untuk makan maka manusia harus kerja, kerja di sini adalah upaya manusia dalam mengelola alam sekitar sesuai dengan potensi alamnya masing-masing. Untuk bisa bekerja menghasilkan sesuatu dari mengolah alam maka manusia membutuhkan ilmu atau pengetahuan untuk mensiasati rintangan dan halangan yang timbul. Pada titik inilah pendidikan difungsikan sebagai fasilitator untuk memberikan pemahaman dasar kepada manusia untuk dapat produktif mengelola lingkungan sekitar. Jadi, pendidikan hendak didorong kearah yang lebih produktif yaitu untuk daya kereasi mencipta sesuatu, terutama untuk dapat menstimulus agar bisa kreatif dan produktif terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup.

Kedua, pendidikan berbasis local wisdom. Ketika Orde baru pemerintah menjalankan program pemerataan pendidikan yang ternyata pada prakteknya lebih pada penyeragaman pendidikan. Oleh para kritikus pendidikan dinilai sebagai upaya sistematis dalam mematikan kekayaan masyarakat local, karena bagaimana tidak, pendidikan kemudian dijariakan sebagai sarana penyamarataan pola berfikir. Wal hasil secara perlahan tapi pasti, identitas lokal mulai tergerus dan sentiment kedaerahan menjadi kental. Dalam Pendidikan meski didorong lebih pada pengkayaan nilai-nilai cultural, bukan dalam rangka untuk membentuk sentiment kedaerahan namun lebih pada untuk membangun fondasi sosial masyarakat yang solid sesuai dengan basis kulturalnya masing-masing. Selain itu pengkayaan atas local wisdom juga berfungsi sebagai media untuk membentuk kesadar masyarakat atas potensi-potensi sosial-ekonomi di masing-masing lokalitas yang dapat diberdayakan demi kesejateraan bersama.

Bila kedua hal di atas yaitu produktifitas pendidikan dan pendidikan berbasis local wisdom dapat terlaksana maka kita dapat optimis bahwa pendidikan mampu memberi makna bagi kehidupan manusia Indonesia. Artinya spiritualitas pendidikan mampu mewarnai dinamika manusia Indonesia kedepan.

Satu hal yang menjadi catatan penting adalah untuk merealisasikan hal tersebut sangat mustahil kita menunggu atau menuntut political-will pemerintah (niat baik pemerintah) karena sejatinya resistensi pendidikan nasional benar-benar nyata adanya. Resistensi dari apa? Resistensi dari nilai-nilai holistik dan spirit pendidikan itu sendiri. Sejak Orde baru hingga saat ini sudah banyak bukti bahwa pendidikan justru semakin menjauhkan manusia Indonesia dari realitasnya.

Namun yang terpenting adalah kita harus memulai, mulai dengan apa yang kita ketahui dan awali dengan apa yang kita bisa untuk membangun pendidikan nasional yang merdeka.

Label: , , edit post
0 Responses

Posting Komentar