JEBAKAN LIBERALISASI DI INDONESIA

Data Buku:
Judul : Jebakan Liberalisasi

Penulis : Yoseph Umarhadi

Penerbit : Cakrawala Institute & Indie Book Corner

Tebal : 134 halaman

ISBN : 978-602-97441-2-5






JEBAKAN LIBERALISASI DI INDONESIA
Resensi Oleh; Gafur Djali


Ada pepatah lama mengatakan, bila kamu menguasai minyak maka kamu dapat mengontrol negara, bila kamu menguasai pangan maka kamu dapat mengontrol masyarakat dan bila kamu menguasai hutang maka kamu dapat mengontrol segalanya.

Boleh dibilang, ekonomi nasional dibangun atas dasar ketegantungan akut terhadap hutang maupun modal asing. Hutang dan modal asing bisa jadi stimulus untuk mencipta pertumbuhan ekonomi, tapi juga mampu menjelma menjadi “lintah”, menyerap habis potensi dan sumberdaya suatu negara. Sayangnya, Indonesia kini terjerat hutang dan modal asing tersebut.

Hutang dan modal asing tidak dapat begitu saja diletakan sebagai faktor determinan yang membuat rapuh fondasi ekonomi nasional. Kekuatan eksternal tidak dapat tumbuh subur tanpa sokongan kekuatan internal. Kedua kekuatan tadi merupakan kelas dominan yang mengeruk keuntungan dari hutang dan modal asing. Kekuatan-kekuatan tersebut kemudian melebur diri dalam satu rezim hegemonik dengan globalisasi, demokrasi politik dan kebebasan pasar sebagai doktrin. Itulah rezim liberalisasi.


Indonesia dalam cengkraman liberalisasi

Dalam bukunya, Jebakan Liberalisasi “pragmatisme, dominasi asing dan ketergantungan ekonomi Indonesia” Yoseph Umarhadi dengan mengunakan perspektif dependensia atau neodependensia sebagai pisau analisanya, hendak menjelaskan fakta terkait praktek liberalisasi di Indonesia. Dalam buku ini, Umarhadi melakukan pemetaan gelombang liberalisasi di Indonesia. Umarhadi memaparkan ada empat gelombang besar liberalisasi yang masuk di Indonesia. Suatu pembabakan sejarah sampai pada matangnya struktur liberalisasi di negeri ini.

Gelombang pertama liberalisasi, terjadi seiring disahkannya Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Memberikan keleluasaan untuk investasi modal asing di Indonesia. Disusul gelombang kedua pada periode 80-an, dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Juni 1983 (PAKJUN 1983) dan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988). Paket deregulasi dan liberalisasi tersebut menghilangkan peran bank sentral (Bank Indonesia) dan sistem keuangan nasional diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

Gelombang ketiga ditandai dengan lahirnya WTO (World Trade Organization) pada 1994 sebagai pengganti GATT (General Agreement On Trade and Tarifs). Perubahan tersebut juga berdampak langsung bagi Indonesia sebagai anggota WTO. Indonesia sejak 1995 harus berkomitmen untuk meliberalisasi perdagangan dan pasar untuk perdagangan dan modal asing. Gelombang keempat, terjadi Tahun 1997. Kala itu, Indonesia masuk dalam krisis ekonomi dan dalam waktu singkat krisis bermetamorfosis menjadi krisis politik. Dalam situasi terdesak Pemerintah mengundang IMF sebagai ‘dokter’ untuk penyelamatan ekonomi. Maka IMF mengucurkan dana 40 milyar dollar AS sebagai stimulus menjalankan Paket Structural Adjugment Policy dan Paket Kebijakan Deregulasi.

Melihat dari fakta sejarah di atas, ada dua instrumen yang perlu dicatat terkait proses Liberalisasi di Indonesia. Pertama kesepakatan internasional dan instrument hukum (Undang-Undang). Kesepakatan internasional mengandung konsekuensi deregulasi internal. Indonesia harus mampu melakukan penyesuaian struktural terkait kesepakatan internasional yang sudah dibuat. Selain itu, hukum (undang-undang) digunakan sebagai instrument legal untuk memperkuat kesepakatan internasional yang akan dijalankan di dalam negeri. Dua instrument tadi, selalu mewarnai derap laju liberalisasi di Indonesia. Atau boleh di bilang Indonesia dijebak lewat kesepakatan-kesepakatan Internasional.


Aliansi Tripel

Maraknya praktek liberalisasi di Indonesia bukan semata atas desakan internasional atau negara-negara donor, melainkan juga didorong oleh kekuatan internal yaitu Oligarki kekuasaan. Meminjam pendekatan Peter Evans, salah seorang penganut teori ketergantungan. Evans memandang dalam negara dunia ketiga ada persekutuan yang dibentuk untuk mempertahankan status quo dan dominasi kelas tertentu yaitu pesekutuan segitiga atau aliansi tripel. Aliansi tripel terdiri dari modal asing, pemerintah negara dunia ketiga (kekuatan sipil, teknokrat & militer) dan borjuasi lokal dan nasional. Dengan Aliansi tripel inilah kekuatan liberalisasi yang bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing dapat tumbuh subur di dunia ketiga termasuk Indonesia.

Hutang digunakan sebagai alat pengikat kesepakatan antara Negara donor dengan Negara penerima. Salah satu kepentingan utama Negara donor adalah kebebasan investasi (penanaman modal). Modal asing disokong oleh pemerintah atau kekuasaan lewat kebijakan undang-undang. Kekuatan militer berfungsi menjaga stabilitas keamanan untuk kenyamanan dan keamanan investasi. Teknokrat dan berjuasi lokal-nasional menjadi perpanjangan tangan dari modal asing, befungsi sebagai mitra dalam menjalankan investasi dan bisnisnya.


Kritik atas Liberalisasi

Pembela liberalisasi meyakini bahwa praktek liberalisasi akan mampu menciptakan kesejateraan dan membuat negara seperti Indonesia dapat mengejar ketertingalan pembangunan dan menjelma menjadi negara industri maju. Tesis ini kemudian dibantah oleh Umarhadi.

Dalam studinya Umarhadi mendapati fakta sebaliknya. Fakta menunjukan bahwa proyek liberalisasi di Indonesia gagal menciptakan kemakmuran dan kemajuan bangsa. Ini terjadi karena integrasi ekonomi nasional dengan sistem global dilakukan ditengah belum siapnya fondasi ekonomi nasional. Kondisi tersebut diperparah dengan liberalisasi yang semakin masif bergulir pasca krisis tahun 1998.

Umarhadi menilai, Indonesia kini cenderung ke arah dominasi asing dalam industri dan ekonomi nasional, artinya liberalisasi justru membuat Indonesia semakin terpuruk. Kondisi ini bukan hanya disebapkan oleh masuknya modal asing dan jeratan hutang membelit, namun juga disokong oleh kekuatan oligarki nasional (baca; aliansi tripel). Liberalisasi atau persaingan global bisa jadi kekuatan ekonomi nasional bila ekonomi nasional sudah terbangun dan masyarakat sudah mampu menemukan cara produksi ideal. Layaknya China dan negara Amerika Latin yang membatasi diri masuk dalam skema liberalisasi global sembari membangun kekuatan ekonomi nasional. Sehingga ketika berintegrasi dalam rezim global (liberalisasi) mereka mampu bersaing dan mendapat keuntungan nasional.

Buku ini bisa jadi pelajaran penting bagi kita semua dalam melihat dinamika ekonomi nasional. Suka atau tidak, Indonesia kini menjadi bagian dari proyek liberalisasi itu sendiri. Proyek yang ternyata hanya menguntungkan segelintir elit dan membuat rakyat kebanyakan semakin terpuruk karena gagalnya orientasi pemembangunan nasional.

Lantas pertanyaan selanjutnya dan dapat menjadi refleksi kita bersama, apakah kita harus tetap menjalankan skema liberalisasi yang ternyata telah gagal total? Karena kita semua percaya, arah menuju perubahan tidak harus selalu didahului gemuruh “amuk massa”. Dan kalau pun gemuruh itu harus ada, apa boleh buat, itulah keniscayaan sejarah yang harus kita kerjakan.

Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.

[Center for Fair Development Studies - Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan]




Sumber Bacaan:

- Umarhadi, Yoseph. Jebakan Liberalisasi: pragmatisme, dominasi asing, dan ketergantungan ekonomi Indonesia. Cakrawala Institute, Jogjakarta 2010

- Budiman, Arif. Teori Negara: Negara, kekuasaan dan ideologi. Gramedia, Jakarta 2002

- Rahardjo, M Dawam, Kapitalisme dulu dan sekarang, LP3ES, Jakarta 1987

- Kwik, Kian Gie, Kebijakan ekonomi politik dan hilangnya nalar, Kompas, Jakarta 2006

- Gambar



0 Responses

Posting Komentar