DEMOKRASI KACAMATA KUDA



Kompetisi telah usai, saatnya kita bersatu” begitu pidato SBY ketika dipastikan kembali menduduki Istana keperesidenan untuk masa jabatan 2009-2014. Suatu pidato yang sangat simpatik namun bermakna ambigu.

Pertama, pidato SBY tersebut merupakan langkah posistif untuk meredakan situasi pasca pergulatan panjang menuju RI satu. Di mana masing-masing calon diliputi ketegangan menantikan hasil pemilihan yang tenyata tidak sesuai dengan target dan harapan.

Kedua, pidato tersebut memandang bahwa perolehan suara merupakan hasil final dari proses pemilu sehingga mencoba menafikan kecurangan dan kekeliruan yang terjadi di lapangan. Wal hasil protes lewat jalur hukum untuk menggugat hasil pemilu datang dari berbagai pihak karena dinilai memiliki banyak kekurangan dan kecurangan yang ternyata menguntungkan calon incumbent (SBY-Boediono).

Ketiga, pernyataan tersebut mermakna bahwa pemerintahan SBY hendak merangkul semua golongan di bawah komando SBY/Partai Demokrat untuk membentuk suatu blok besar dalam pemerintahan. Hal tersebut sama artinya hendak meminimalisir atau meniadakan samasekali oposisi dalam pemerintahannya.


Kekuatan di Parlemen


Memang sangat prematur bila kita memandang rezim SBY sekarang sedang membangun kekuatan tunggal dalam parlemen yang akan merongrong aura demokrasi di Indonesia. SBY- Boediono secara hukum akan dilantik pada 10 November nanti. Namun pergulatan di parlemen dan di meja kepresidenan beberapa hari terakhir ini cukup alot. Pergulatan di parlemen terjadi dalam hal penentuan kursi legislatif dan pencalonan ketua DPR. Mari kita simak komposisi kursi di parlemen yang dikeluarkan oleh KPU pada kamis, 3 september 2009. Secara keseluruhan kursi di Parlemen berjumlah 550 yang terdiri dari Partai Demokrat 145 kursi, Golkar 102 kursi, PDI Perjuangan 93 kursi, KPS 57 kursi, PAN 46 kursi, PPP 38 kursi, PKB 27 kursi, Gerindra 25 kursi, hanura 17 kursi, dan disusul partai kecil lainnya.

Bila melihat komposisi parlemen di atas kemudian sambungkan dengan partai pendunkung SBY-Boediono pada pemilu lalu, seperti Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, PPP maka secara keseluruhan jumlah kursinya adalah 313 kursi atau sekitar 60%. Belum sampai disitu hasil rapat petinggi Golkar memutuskan bahwa Golkar siap bergabung dengan koalisi yang dipimpin Partai Demokrat/SBY. Bermakna kekuatannya kini bertambah menjadi 415 kursi atau sekitar 80% kursi di parlemen. Belakangan muncul rumor bahwa Taufik kiemas petinggi PDI perjuangan dan juga suami dari Megawati, hendak mencalonkan diri menjadi ketua DPR-RI. Menufer politik ini dinilai merupakan upaya PDI Perjuangan untuk masuk dalam koalisi besar SBY, karena saat ini koalisi yang dipimpin Partai demokrat tersebut menjadi penguasa diparlemen.

Hal tersebut bermakna kekuatan oposisi yang semula diprediksi akan muncul dari koalisi Golkar, PDI perjuangan, Gerindra dan Hanura sirna sudah. Tak salah jika dikatakan executive heavy (pemerintah terlalu kuat) karena didukung oleh koalisi yang menguasai hampir 95% suara di parlemen. oversized coalition ini akan berdampak pada jalannya pemerintahan yang berjalan tidak evisien seakan tanpa kontrol dan penyeimbang.

Demokrasi mau kemana?

Situasi ini patut dicermati dan dikaji bersama. Kekuatan parlemen yang didukung oleh koalisi besar yang menguasai hampir 95% suara memiliki dampak yang cukup signifikan baik positif maupun negatif. Pada tataran positif tentunya jalannya pemerintahan akan semakin lancar karena kontroversi di perlemen menjadi berkurang. Namun pada tataran negatif maka banyak hal yang akan terjadi dimana kurangnya check & balance dalam jalannya pemerintahan. Selain itu banyaknya partai yang masuk dalam koalisi berdampak pada jatah masing-masing partai dalam pemerintahan. Bergabung dalam koalisi sama artinya mengamankan jatah masing-masing partai dalam pemerintahan. Suatu langkah oportunis, Indikasinya sudah muncul dengan riuhnya ajang penentuan menteri yang akan duduk di kabinet SBY-Boediono.

Apakah demokrasi sedang dirongrog? Tentunya itu pertanyaan yang sulit dijawab. Yang jelas dalam situasi ini seakan sedang didorong pada pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, didukung oleh kekuatan parlemen yang kuat dan tanpa oposisi. Situasi yang sangat rentang dengan otoriterisme dimana penguasa menemukan diri sebagai kekuatan tunggal dengan kontrol yang longgar sehingga mampu menghasilkan kebijakan sesuai dengan kepentingan individu/kelompok.

Dalam demokrasi kita mengenal kekuatan ada di tangan Rakyat, supremasi hukum sebagai senjata dan kebebasan pers & media massa sebagai corong aspirasi. Bila pemilu dipandang sebagai ajang penyerahan mandat dari rakyat kepada wakilnya sehingga seakan rakyat kemudian kehilangan mandat untuk beraspirasi, maka di sinilah letak kelemahan demokrasi kita. Selain itu ketegasan penegakan hukum di Indonesia juga belum menemukan bentuknya, simak saja bagaimana sengketa pemilu (DPT) diselesaikan pada tataran politik sedangkan kasus tersebut seharusnya diselesaikan pada tatarah hukum. Hukum kemudian dinilai sebagai pemanis politik semata?

Pilar selanjutnya adalah pers & media massa, perkembangannya akhir-akhir ini sangat pesat dan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Namun perkembangan pers & media massa di Indonesia perlu dicermati lagi karena semuanya merupakan institusi bisnis yang menjunjung tinggi pendapatan/laba. Banyak dari contents atau isinya memuat berita yang justeru meresahkan masyarakat. Pers & media kemudian menjadi corong penguasa/donatur/sponsor/pemilik saham. isinya sudah dapat ditebak sangat jauh dari kebutuhan masyarakat banyak.

Kedepannya akan banyak parlemen jalanan yang digelar. Hal tersebut sangat rasional karena DPR yang merupakan salah satu media aspirasi Rakyat telah ompong dan justru beroposisi dengan kekuasaan tanpa oposisi. Parlemen jalan kemudian dinilai sebagai gerakan sadar untuk menggantikan kekuatan legislatif yang ompong dan kekuatan pemerintah yang lupa terhadap rakyatnya.

Semuanya menjadi catatan besar dalam proses bernegara kita layaknya “demokrasi kacamata kuda” maunya lurus-lurus saja sesuai kemauan si-penunggangnya. Kurangnya check & balance sama artinya menghindari proses dialektika. Imbasnya adalah kemunduran perlahan tapi pasti.

0 Responses

Posting Komentar