Panca-sila? "Belajar kembali mengeja spiritualitas Nation-State"

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu "Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas "national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu "Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu "Weltanschauung", yaitu yang dinamakan "Tennoo Koodoo Seishin". Diatas "Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu "Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah "Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka? Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Demikian pidato Soekarno dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 1 Juni 1945 ketika sidang membicarakan dasar negara kita)


Kenapa harus takut pancasila tinggal nama? atau adanya koreksi mendasar dari Pancasila? Banyak pertanyaan muncul atas Pancasila seperti, apakah Pancasila memberikan penjelasan sistematis tentang konsep Nation-State dalam kapasitas membangun karakter Rakyat Indonesia?

Saya menilai bahwa pancasila dalam konteks perjuangan Rakyat Indonesia, hadir untuk mencairkan situasi dimana ketika perjuangan banyak kelompok atau aliran pergerakan seperti yang berlatarbelakang Komunisme, Tradisional, Nasionalis, Sosialisme, Agama. Faksionalisasi ini dipandang akan menghambat cita-cita kemerdekaan karena belum adanya kata sepakat dalam penentuan landasan/falsafah Indonesia Merdeka.

Nah... untuk itulah Pancasila hadir sebagai semangat bersama yang mampu mengakomodir perbedaan pandangan tersebut. Namun saya tidak yakin Ormas/partai ketika itu memaknai Pancasila sebagai landasan perjuanngan dan spiritualitas pergerakan mereka. Karena setelah kemerdekaan justru faksionalisasi ini semakain mengerucut. Simak saja bagaimana muncul gerakan-gerakan yang hendak memisahkan diri dari Indonesia seperti DI/TII, RMS, Permesta, dll.

Bila kita memandang Pancasila sebagai sesuatu yang sudah sempurna (by given) maka di mana proses dialektika suatu bangsa. Belajar dari perkembangan beberapa negara yang menjadi referensi pada pidato Soekarno di atas sebut saja Rusia, Jerman, China, Jepang dan Arab Saudi kesemunya telah mengalami perubahan yang pesat dalam proses bernegaranya.

Rusia (Soviet) sebagai negara "dedengkot" Komunis nyatanya telah runtuh pada 1989 namun masih eksis sampai sekarang tentunya dengan beberapa penyesuaian yang mendasar. China meski tetap berpaham Komunis namun mereka mampu mematahkan stigma negatif Komunisme dengan kemajuan ekonomi yang melebihi negara-negara Eropa-Amerika (Kapitalis).

Mereka berani melakukan perombakan mendasar terhadap Weltanschauung (falsafah berbangsa-bernegara) konstitusi, maupun paradigma masyarakat. Tidak ada yang statis semuanya berubah, berdinamika sesuai perkembangan zaman. Karena zaman ini tidak bisa dilawan namun manusia harus dapat beradaptasi. Mencari formulasi yang tepat dan kontekstual untuk menemukan tingkat ke-idealannya.

Bila saat ini ada sebagian orang/kelompok yang meragukan/mempertanyakan ulang tentang Pancasila, apakah kemudian mereka di-identifikasikan tidak setia terhadap NKRI? Namun jarang sekali yang bertanya kenapa sikap seperti itu diambil. Menjadi sangat ambigu bila kita meletakan Pancasila hanya sebagai teks (catatan) namun tidak direalisasikan. Perealisasian Pancasila sangat tergantung dari Politic will pemegang otoritas tertinggi di negara ini (pemerintah).

Berbicara hal seperti kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan adalah persoalan bersama dan menjadi tanggung jawab bersama pula. Namun dalam konteks berbangsa den bernegara maka Pemerintah (negara) lah yang harus bertanggung jawab penuh. Negara-lah yang bertindak sebagai katalisator bukan lantas seperti zaman Orde-Baru mengunakan Pancasila sebagai "palu godham" untuk kekuasaan yang menyengsarakan rakyat Indonesia.

Yang hendak kita bangun adalah Negara Indonesia yang berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan bermartabat dalam budaya. Yang mesti dipahami Pancasila itu cita-cita. Bukan lantas meletakan Pancasila sebagai ritus pemberhalaan sejarah. Sekarang mari kita pikirkan bersama bagaimana cara untuk mencapai cita-cita bersama tersebut?



Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar