Sumpah Pemuda Jilid II

"Kakek dan Nenek kita tidak ikut serta atau tahu apa itu sumpah pemuda? namun mereka tetap Indonesia bahkan paling loyal terhadap kemerdekaan dan kemajuan Indonesia"

Demikian celoteh nakal dari salah seorang teman yang terlontar beberapa bulan lalu dan sampai sekarang masih terngiang lekat dalam ingatan saya. Bila kita menelusuri lebih dalam makna dari ungkapan di atas maka anda mungkin sepakat bila sudah semestinya kita kembali merefleksikan peristiwa sumpah pemuda yang kini hanya menjadi ritus pemberhalaan sejarah. Seremonial yang diperingati berulang-ulang tiap tahunnya.

Dalam pengetahuan kolektif kita, peristiwa sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah suatu konsolidasi/kongres pemuda yang digawangi oleh serikat/organisasi pemuda seperti Djong Java, Borneo, celebes, Ambon, dll. Peristiwa tersebut dipandang sebagai momentum awal kebangkitan bersama dengan tiga pilar utama bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu. Inilah permulaan yang di-identifikasi sebagai titik pertemuan identitas kolektif manusia yang mendiami gugusan kepulauan dari Merauke sampai Sabang yang kemudian sepakat menjadi Indonesia.

Lantas bila demikian adanya, apakah loyalitas atas ke-Indonesiaan kemudian diukur dengan indikator-indikator normatif seperti yang tertuang dalam sumpah pemuda? Tiga pilar yang tertuang dalam sumpah pemuda haruslah dipahami sesuai spirit zamannya. Situasi sosial akan mempengaruhi kesadaran sosial. Bila demikian seperti itu adanya maka dapat dibayangkan bila Kolonialisme dan Imperialisme tidak pernah ada di Indonesia apakah akan muncul Sumpah pemuda? atau sumpah pemuda lahir karena kesadaran independensi-kolektif menuju suatu otoritas merdeka?

Bayangkan pada tahun 1928 manusia Indonesia pada saat itu berkisar 40-50 juta jiwa yang tersebar di pedalaman, pesisir, pulau kecil dan besar. Zaman dimana modernisasi mulai bersentuhan dengan masyarakat tradisional. Masih sangat sedikit yang memahami tulisan, transportasi dan komunikasi adalah barang mewah. Zaman dimana kita seakan hidup di dalam rumah kaca, hanya mampu melihat gemerlapnya dunia tanpa mampu menyentuhnya. Pada tahun yang sama masyarakat Alifuru di pedalaman pulau Seram Maluku tengah atau masyarakat Dayak yang hidup tentram ala komunal-primitif di pedalaman Kalimantan, mareka hidup damai dan merasa sebagai manusia bebas tanpa tahu apa itu VOC, Belanda, penjajahan, Sumpah pemuda dll. Namun mereka siap menjadi Indonesia. Bila demikian keadaannya lantas menjadi mentah hipotesa yang mengatakan bahwa sumpah pemuda berhasil menyatukan Indonesia untuk keluar dari penjajahan.

konsolidasi sekian juta manusia bukanlah hal yang mudah. Sejarah mencatat bahwa Sumpah Pemuda hanyalah diwakili oleh segelintir intelektual muda tanpa basis masa yang jelas. Karena bila kita bandingkan dengan kekuatan ormas seperti Masyumi, Muhamadiah atau Sarekat Islam yang memiliki anggota ribuan bahkan jutaan tentunya memiliki daya jangkau yang luas dalam membentuk opini publik. Maka pertanyaannya seberapa besar basis massa yang dimiliki oleh Sumpah Pemuda? Sehingga seakan mampu mengorganisir manusia nusantara menjadi Indonesia.

Tanpa menghilangkan arti pentingnya Sumpah Pemuda dalam khasanah kesejarahan kita, ada baiknya kita butuh pembacaan ulang atas situasi kekinian. Memahami spirit zaman mungkin itu kata kunci untuk dapat merefleksikan ulang sumpah pemuda. Atau bila perlu Sumpah Pemuda jilid II harus segera disiapkan.

Label: , edit post
0 Responses

Posting Komentar