Jogjakarta
diguncang Bom tepat dihari ulang tahunnya yang ke-255 pada 7 oktober 2011.
Kejadian kali ini, spontan disangkut pautkan dengan “gerakan terorisme” yang
sedang unjuk gigi beberapa waktu belakangan.
Belum
tuntas penyelidikan kasus bom Solo, kini giliran aksi serupa terjadi di
Jogjakarta. Pelaku aksi terror diduga mengunakan bom molotof yang menghanguskan
ATM BRI di Jl Affandi Gejayan, Depok, Sleman, DIY. Dari tempat
kejadian pihak berwajib mendapat barang bukti berupa tas yang berisi identitas,
yang diduga sebagai pelaku terror tersebut.
Namun
ada hal berbeda dan menarik. Selain barang bukti tas dan identitas, juga
ditemuka selembar selebaran yang diduga sengaja dibuat oleh kelompok tersebut
sebagai bentuk protesnya dan mendeklarasikan dirinya.
Selebaran
yang ditemukan di TKP (tempat kejadian perkara) berisikan tentang sikap dan
protes kelompok tersebut atas situasi dan ketidak adilan sistim bernegara yang
sedang berlangsung.
“Negara-Korporasi-Polisi-Militer Adalah Terorisme Sebenarnya…. Kali ini kami mengatakan, bahwa apa yang kami lakukan merupakan puncak dari semua kegelisahan serta kemarahan kami terhadap sistem yang sedang berjalan ini. Sistem yang memberhalakan uang” (IRF)
Kelompok
yang menamakan dirinya International
Revolutionary Front (IRF) sengaja menyerang institusi Bank,
karena mereka memandang keberlangsungan sistim yang timpang dan diskriminatif
di Indonesia disokong sepenuhnya oleh institusi keuangan. Sehingga Bank menjadi
sasaran dari ekspresi kemarahan dari kelompok tersebut.
Ekspresi
kekecewaan tersebut muncul ketika mereka mendapai bahwa institusi Negara tidak
berjalan sebagaimana peran dan fungsinya. Institusi dan perangkat Negara bagi
mereka merupakan penindas sejati dan menjadi alat kekuatan borjuis dan kelas
pebisnis untuk melegalkan kepentingan segelintir orang.
“Sistem yang hanya menguntungkan kaum borjuis, para pebisnis dan para birokrat negara yang menjadi sekutu setianya. Bagi kami semua, ini bukan saatnya untuk diam. Bukan saatnya untuk tenang menonton acara di depan televisi dan berkata bahwa "semua baik-baik saja".(IRF)
Secara
terang-terangan kelompok ini mengikrar target dan sasaran yang mereka incar.
Lembaga Finansial, Institusi Negara, lembaga kepolisian, Militer adalah target
dan sasaran kritik mereka. Dan lembaga lembaga tersebut mereka anggap sebagai
teroris sesunggunhnya.
“Penyerangan terhadap pusat-pusat finansial: ATM, bank, gedung korporat adalah target yang terpenting, karena mereka adalah tanah salah satu kolaborator yang menyebabkan penderitaan di muka bumi ini”.(IRF)
Meski
bom molotof sudah menghanguskan satu ATM, tetapi mereka menolak dicap sebagai
terorisme. Bagi mereka apa yang dilakukan adalah sesuatu yang sudah semestinya
dijalankan sebgai bentuk kritik atas segala ketidak adilan yang terjadi di
negeri ini. Selain itu, aksi ini bagi mereka juga punya nilai untuk mendukung
segala gerakan perlawanan serupa yang ada di Indonesia maupun di Negara lain.
TANDA TANYA?
Peristiwa
atau ancaman terror seperti ini, bukanlah hal baru di Indonesia. Namun bila
kita kaji dengan seksama, terutama pada sasaran dan pelaku, maka kita akan
mendapati modus operandi baru.
Pada
umumnya aksi-aksi terror yang selama ini ada bersumber dari gerakan yang di
identikan dengan kaum “Islam radikal”. Gerakan tersebut terorganisir dengan
sokongan dana yang cukup besar. Selain itu sasaran yang mereka incar adalah
simbol-simbol agama, asing (hotel & kedutaan) dan institusi Negara (polisi).
Lantas
apa yang berbeda dengan modus operandi yang berlaku pada bom jogja kali ini?
Dari selebaran dan sasaran (objek) pengeboman kita bisa melihat ada garis
demarkasi yang cukup jauh antara gerakan yang sebelumnya ada dan kelompok bom
jogja kali ini.
Sekuarngaya
ada tiga hal yang membedakan kelompok bom jogja dengan kelompok yang lainnya.
Pertama,
sasaran bom Jogja tertuju pada institusi perbankan (keuangan) yang dianggap
sebagai penyokong ketimpangan sistem yang sedang berlangsung.
Kedua,
mereka memilih aksi terbuka dalam menyampaikan tuntutan-tuntutannya. Hal itu
bisa dilihat dengan seksama dari selebaran yang ada di TKP yang kemudian diduga
sengaja dibuat pelaku.
Ketiga,
tuntutan yang mereka lontarkan merupakan kritik atas ketidak adilan yang
berlaku. Artinya mereka tidak sedang menuntut pembentukan Negara yang
berasaskan agama tertentu, melainkan menuntut perubahan struktural untuk
perbaikan yang menyeluruh.
Kita
tentunya melihat ini bukan sebagai factor tunggal. Melinkan sebagai suatu
rangkaian kejadian yang punya titik ketersambungan.
Kita
lantas bertanya-tanya:
Apakah
tuntutan dan keresahan yang dilontarkan oleh pelaku bom Jogja tersebut adalah
ilusi semata ataukah kenyataan yang sudah kita rasakan bersama?
Kenapa
aksi-aksi (Bom) selalu muncul ketika konstalasi politik nasional sedang
gonjang-ganjing. Ada isu perombakan cabinet, korupsi, kenaikan harga, dll?
Apakah
mungkin serangkaian aksi terror tersebut punya hunbungan dengan paket
Undang-Undang Keamanan Negara atau dengan Undang-Undang Intelijen yang baru
saja disahkan?
Apakah
benar, terorosme dan ancama itu selalu datang berupa bom, bukankah perut lapar
dan tanah yang tergusur, pengangguran, dan kemiskinan adalah ancaman dan terror
serius di negeri kaya ini?
Pertanyaan-pertanyaan
diatas mungkin sudah pernah kita pikirkan sebelumnya karena sudah menjadi
rahasia publik. Atas dasar alasan apa pun kita semua menyesali dan mengutuk
aksi terror dan bom di mana pun dan dalam bentuk apa pun.
Seperti
kata pepatah,
“bila
ada yang berbuat jahat pada mu jagan kau balas dengan kejahatan serupa, karena
sama artinya kau menyamakan dirimu dengan penjahat tersebut”
Djali Gafur
Penulis adalah peneliti pada
Cakrawala Institute
(Center for Fair Development
Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)
rapikan dikitlah ketikannya men. kerapian itu bagian dari SEO blog dap!