Ilusi Nasional(isme)


Ilusi Nasional(isme)


Oleh: Gafur Djali


Oktober adalah histeria, momentum mempertanyaakan ulang substansi eksistensi nation-state. Pengalaman historis delapan puluh dua tahun lalu kini mulai ditelisik ulang, sebagai konstruksi dialektis nation-state. Dan mungkin essay ini bisa jadi adalah bagian dari histeria tersebut.

Berangkat dari identitas budaya lokal. Identitas budaya lokal dalam pemahaman saya adalah modal dasar dalam menyusun fondasi kekuatan identitas nasional. Tanpa itu semua akan sangat sulit untuk membayangkan integrasi sosial yang utuh dalam kerangka nation-state bernama Indonesia. Saya memandang loyalitas atau cinta terhadap identitas budaya lokal, tidak dimaknai sebagai bentuk resistensi budaya satu atas yang lainnya. Namun, lebih befungsi sebagai media agar terjadi dialog antar budaya, lewat pengkajian, pengkayaan dan keterbukaan. Mungkin istilah populernya adalah transformasi sosial-budaya berdasarkan pada kearifan local (local wisdom).

Bayangkan, saat ini kita hidup dalam zaman yang anarki, tidak mengenal kompromo. Bertahan atau digilas zaman, mungkin sudah menjadi adagium umum yang berkembang di masyarakat. Derasnya arus modernisasi dan industrialisasi secara perlahan tapi pasti mulai mengerus tatanan masyarakat bahkan pada tatanan yang adhiluwung, atau filosofis sekalipun.

Kita mungkin dapat sedikit bernafas lega. Karena dalam simpang zaman ini, kita masih punya modal sosial yang dapat dikelola untuk membangun karakter bangsa. Saya tidak dapat membayangkan, ketika nilai-nilai kultur budaya lokal mulai tergerus zaman dan generasi berikutnya lebih mengenali budaya hasil (produksi) globalisasi dan industrialisasi. Suatu masa ketika kita sudah kebingungan menemukan tempat bertanya dan mulai kehilangan identitas sejati.

Lantas, kepada siapa kita akan bertanya tentang ke-khasan budaya lokal? Ketika masyarakat lokal (kita sendiri) mulai lupa atau tidak tahu sama sekali dengan budaya lokal kita masing-masing. Kepada siapa kita bertanya, bagaimana Kapal Pinisi Bugis dibuat sehingga kuat seperti karang mampu menjelajahi tiap tepian samudera? Kepada siapa kita akan bertanya tentang Adat Pela-Gandong di Maluku? Yang telah mampu membangun kerukunan dan keharmonisan umat beragama. Atau, kepada siapa kita bertanya bagaimana resep memasak Gudeg Jogja yang paling enak? Atau mungkin suatu saat nanti, kesemuanya hanya akan menjadi ritus sejarah yang hanya dapat ditemukan lewat arsip-arsip perpustakaan atau pada pigura-pigura foto yang terpampang di museum.

Saya sangat berharap, bahwa generasi saat ini (saya sendiri) mampu menjawab tantang tersebut. Setidaknya, pada titik paling pragmatis adalah kita mau belajar budaya lokal masing-masing. Meletakan sebagai falsafah hidup dan bukan sebagai pemahaman ilmu pengetahuan belaka. Sulit kirannya kita menunggu atau menuntut Negara (pemerintah) untuk peduli. Karena saya merasa, sampai saat ini pemerintah terkesan melepas tangan dan kurang peduli pada permasalahan di atas. Kalaupuan ada, kepedulian tersebut didorong oleh semangat industri budaya yang dikemas dalam paket-paket wisata. Wal hasil, untung rugi ekonomilah yang kemudian menjadi patokan. Saat ini, saya lebih percaya bahwa suatu proses mengubah (perubahan) adalah kekuatan kita merangkul dan bersama-sama membangun dari bawah, memulai dengan apa yang kita miliki dan sesuatu yang kita bisa kerjakan.

Refleksi mendasar tentang jatidiri kita sebagai bangsa sampai pada pemahaman asalmula alasan Indonesia terintegrasi menjadi nation-state dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia sebelumnya bukan hanya dipandang sebagai komunitas terbayang belaka. Namun, lebih dari itu. Indonesia belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sedari pemunculan ide Indonesia, proklamasi, bahkan sampai terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu pencapaian monumental yang saya yakini belum pernah dicapai dalam sejarah modern umat manusia.

Mungkin pandangan saya hanyalah ilusi belaka. Tapi izinkan saya untuk sampaikan bahwa sampai detik ini saya masih belum dapat membayangkan bagaimana mungkin suatu gugusan kepulauan dengan latar belakan etnis, bahasa, budaya dan sejarah berbeda memilih untuk menjadi Indonesia? Bila jawabannya adalah integrasi kita dalam Negara Indonesia dilandaskan atas samarasa akibat keterpurukan kolonialisme. Saya pikir jawaban itu sama artinya mengiyakan praktek kolonialisme. Karena tanpa kolonialisme Indonesia tidak ada, maka berterimakasilah pada kolonialisme, karena berkat merekalah Indonesia di proklamirkan. Atau, ada jawaban lain. Karena kita dulunya pernah ada dalam satu wilayah Dipantara ketika kejayaan Sriwijaya dan Nusantra ketika kejayaan Majapahit. Saya juga masih sangsih dengan klaim historis tersebut. bagaimana tidak, integrasi wilayah ketika masa Sriwijaya dan Majapahit berlangsung dalam skema penjajahan Sriwijaya atau Majapahit untuk perluasan teritorinya. Proses intergrasi tersebut menyimpan banyak luka sejarah karena berlangsung di bawah tekanan. Bila anda tidak mengakui Sriwijaya atau Majapahit itu sama artinya anda menyatakan perang, dan bersiaplah untuk apa yang anda bangun hannya tinggal cerita. Mungkin begitulah kira-kira ilustrasi sederhananya.

Berawal dari suatu konsensus bersama (good will) untuk membentuk suatu tata kehidupan yang lebih baik dan pelimpahan kekuasaan (pengakuan kedaulatan) oleh kekuasaan lokal untuk menyatakan diri menjadi bagian dalam nation-state. Dua hal inilah yang dipandang sebagai dasar terbentuknya Indonesia. Maka, Integrasi sosial-politik dalam kerangka nation-state kemudian diletakan sebagai suatu proses. Proses menjadi Indonesia. Suatu proses untuk berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam budaya, setidaknya itulah tiga butir pokok cita-cita nasional (national building).

Sulit membayangkan suatu bangsa yang besar baik secara teritorial maupun cita-cita bangsa tersebut, tanpa kita menyentuh pada sisi yang paling asali, yaitu nasional(isme). Saya tidak mau terjebak pada kritik kita atas nasional(isme) simbolik yang berkembang belakangan ini. Saya percaya sepenuhnya bahwa nasional(isme) itu perlu sebagai pengikat yang bersifat imatrial (filosofis). Nasional(isme) tersebut bukan semata bicara soal rasa, loyalitas atau simbol. Tetapi, nasional(isme) dalam pemahaman saya adalah kepedulian dan kemampuan untuk membangun. Berawal dari membangun diri dan mengelola lokalitas atau komunitas yang paling terkecil sekalipun di daerah lingkungan kita masing-masing, terutama masyarakat lokal dengan kearifan budayanya.

Perkembangan situasi belakangan cukup menyudutkan masyarakat lokal terutama kearifan budaya-nya. Pranata atau norma-norma yang berkembang di masyarakat, yang kemudian kita kenal sebagai hukum adat terkadang mulai diabaikan. Dalam kacamata hukum positif, posisi hukum adat sangatlah lemah. Atau, saya lebih sepakat posisi hukum adat dilemahkan. Alasannya karena dalam hukum adat tidak terdapat ukuran-ukuran normatif yang mampu dijadikan patokan dalam penegakan hukum. Sungguh suatu pengebirian yang mematikan karakter masyarakat lokal. Hukum adat adalah pranata sosial yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan roh-roh leluhur dan manusia dengan Tuhan. Kekayaan hukum adat inilah yang belum mampu dimaknai atau diterjemahkan oleh hukum positif yang kita adopsi dari hukum Eropa kontinental atau lebih tepatnya Belanda.

Pada satu sisi, perkembangan globalisasi yang melahirkan industrialisasi telah sedikit banyak mengerus nilai-nilai lokal. Sedangkan pada sisi lain, negara yang dibangun atas daulat rakyat dan sebagai pelindung rakyat juga tidak mampu berbuat banyak. Negara terkadang lebih memihak pada pakem-pakem globalisasi dan industrialisasi. Sebagai dalih untuk pembangunan dan kesejateraan rakyat. Namun, mengerus nilai-nilai lokal masyarakat itu sendiri.

Pada titk inilah. Menjadi suatu keniscayaan ketika kita menuntut kepada Negara untuk adil. Adil dalam hal melindungi pranata sosial masyarakat lokal dan mensejaterakan rakyat lewat pembangunan yang berkeadilan. Pembangunan yang melibatkan peran aktif masyarakat secara keseluruhan. Bukan sakadar menuntut warga negara untuk memiliki rasa nasional(isme) sedangkan Negara dalam kebijakan-kebijakannya justru menghilangkan nilai nasional(isme) yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Ataukah, nasional(isme) hanya ilusi belaka?



Jogjakarta. Senin,18 Oktober 2010


Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.

(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)

Label: , edit post
0 Responses

Posting Komentar