Kebijakan Agraria dan Koorporatisasi Pertanian (food estate)

Oleh: Gafur Djali

Control oil and you control the nations, Control food and you control the people.

“Henry Kissinger”


Industri pertanian sudah menjadi bisnis dengan prospek paling menjanjikan dewasa ini. Sebelumnya, mungkin industri pangan hanya selalu dipandang sebelah mata. Kita cenderung mengamini, bahwa investasi di pasar finansial, telekomunikasi-informasi, farmasi, industri pertambangan dan perminyakan adalah cabang-cabang produksi yang akan mendatangkan keuntungan berlipat. Sekarang anasir-anasir tersebut mulai runtuh dan industri pertanian menjadi salah satu kekuatan industri dunia.

Hukum ekonomi “permintaan-penawaran” jadi pakem dasar. Kebutuhan pangan dunia terus meningkat dari tahun ketahun, peningkatan tersebut ternyata belum dibarengi dengan kapasitas produksi memadai. Pertumbuhan manusia dan mulai menyempitnya lahan-lahan pertanian, baik akibat alih fungsi lahan atau akibat global warming, merupakan faktor pendorong sehingga industri pertanian menjadi primadona. Pesatnya perkembangan industri pertanian dipicu oleh dua faktor utama yaitu meningkatnya permintaan pangan dunia dan pengadaan energi alternatif (biofeul).

Dalam peta industri pertanian global, Indonesia merupakan salah satu primadona untuk investasi pertanian tersebut. Pada satu sisi, lahan pertanian Indonesia terkenal subur dan masih cukup luas untuk membangun industri pertanian raksasa. Selain itu, dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar potensial di Asia Tenggara. Posisi strategis Indonesia inilah yang membuat perusahan-perusahan multinasional (MNC), perusahan transnasional (TNC) maupun afiliasi perusahaan nasional dan perusahaan asing, memberanikan diri untuk mendirikan mega proyek industri pertanian.

Dayung bersambut, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengakomodir kepentingan pengusaha tersebut dengan meluncurkan program koorporatisasi pertanian (food estate). Payung hukumnya adalah UU Penanaman Modal No.25/2007 dan dipertegas dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No.18/2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman skala luas. Food Estate adalah konsep pengembangan produksi pangan yang terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang terintegrasi dalam satu wilayah yang sangat luas.

Pada PP No.18/2010 mengatur beberapa hal, di antaranya tentang batasan kepemilikan saham asing yaitu maksimal 49% dan perusahaan dalam negeri sebesar 51%. Selain itu, juga mengatur tentang HGU (hak guna usaha), selama 35 tahun. Namun, investor dapat memperpanjang HGU-nya dua kali yaitu selama 35 tahun dan perpanjangan selanjutnya selama 20 tahun. Jadi, total HGU yang dapat dimaksimalkan oleh investor adalah selama 90 tahun. Suatu rentan waktu yang sangat lama mendekati satu abad. Sedangkan, ketentuan HGU tersebut tidak berlaku untuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah hanya berlaku untuk swasta asing maupun swasta nasional.

Program food estate mengkonsentrasikan pada pengembangan wilayah Indonesia timur. Contoh riil dari program food estate yang sedang dikembangkan adalah di kabupaten Merauke, Papua, lewat program MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Apa alasan pemerintah memilih Merauke? Dengan luas kawasan sekitar 45.071 km2, lahan potensial seluas 2,5 juta ha, terdiri dari lahan basah 1,93 juta ha dan lahan kering 0,55 juta ha serta didukung dengan jumlah penduduk sekitar 183.945 jiwa, maka dari aspek geoekonomi maupun geostrategi mempunyai nilai ekonomi dan daya saing internasional cukup tinggi. Merauke kemudian oleh pemerintah dijadikan sebagai pionir Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di bidang pangan dan energi alternatif. Mirip dengan yang pernah dilakukan oleh Belanda dengan proyek Padi Kumbe-Kurik sejak tahun 1939 sampai tahun 1958.

Pemerintah memprediksi membutuhkan dana investasi sebesar Rp.50-60 triliun untuk program food estate di Papua. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, bahwa industri pertanian adalah primadona investasi. Program MIFE Menjadi rebutan, layaknya para jejaka berebut mempersunting bunga desa. Tidak tangung-tanggung, ada sekitar 36 investor yang siap masuk, 28 investor dari dalam negeri dan sisanya investor asing. Beberapa investor asing yang siap masuk antara lain adalah dari Timur Tengah, Jepang, Brazil, AS, dan Eropa untuk pengembangan lahan padi, tebu, kedelai, dan lain-lain. Nama-nama beken seperti Bin Laden Group, PT Medco Papua Industri Lestari Medco Group, perusahaan milik Arifin Panigoro. Artha Graha Network melalui anak usaha PT Sumber Alam Sutera (SAS) milik Tommy Winata dan kelompok Bakrie Group milik Aburizal Bakrie adalah perusahaan yang telah siap berinvestasi di Merauke, Papua.

Food estate dalam kacamata pemerintah adalah upaya untuk menciptakan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan nasional akan tercipta bila pembukaan lahan baru dengan model pertanian skala besar yang bertumpu pada industri pertanian. Langkah tersebut adalah skema pemerintah untuk produksi pertanian yang berkesinambungan dalam skala besar. Harapannya akan mampu memenuhi stok nasional maupun kebutuhan pangan dunia. Selain untuk kebutuhan pangan, food estate juga diperuntukkan untuk menjawab permintaan dunia atas kebutuhan energi nabati di tengah makin mahal dan berkurangnya energi fosil. Sumber energi alternatif yang terbaharukan untuk kebutuhan ekspor yang semakin meningkat tiap tahunnya.

Ketahanan pangan dalam pandangan pemerintah adalah kemampuan pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan dan kemampuan masyarakat untuk mengakses kebutuhan pangan tersebut. Tolak ukurnya adalah kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan pangan. Jadi, bertumpu pada kekuatan konsumsi masyarakat. Sederhananya, bila pemerintah mampu menjamin ketersediaan pangan untuk konsumsi masyarakat dan masyarakat mampu membelinya (harganya terjangkau) maka dapat dikatakan ketahan pangan nasional dalam posisi aman. Agar supaya harga pangan dapat terjangkau, dan pemerintah mampu menjamin ketersedian stok, maka dibutuhkan produksi massal skala luas. Semakin banyak barang yang diproduksi secara masal dalam waktu bersamaan, maka akan semakin murah harga barang tersebut. Dan, skema tersebut adalah Food estate dengan MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) sebagai eksperimentasi awal. Harapan pemerintah, Food estate akan menciptakan kemakmuran dan kesejateraan karena kebutuhan pangan semakin terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat luas.

Perdebatan dan Kontroversi

Dalam hemat saya, pandangan pemerintah tersebut cukup ambigu. Pertanyaan saya sederhana. Bagaimana mungkin tercipta kesejateraan tanpa diimbangi dengan kempuan masyarakat untuk berproduksi? Karena dengan produksi dapat memompa pendapatan masyarakat, sehingga tingkat kesejateraan meningkat seiring dengan produktifitas produksi masyarakat yang meningkat pula. Peningkatan pendapatan secara perlahan akan meningkatkan daya beli. Apa sebenarnya yang menjadi tolak ukur kesejateraan? Kesejateraan mengandung makna yang cukup bias. Saya akan melihatnya dari kacamata normatif. Apakah kesejateraan diukur dari tingkat konsumsi (daya beli) atau tingkat produksi (pendapatan)? Contohnya begini, bila anda tidak punya pekerjaan, maka anda tidak punya pemasukan. Seratnya pemasukan membuat barang semurah apapun tidak terbeli, karena anda tidak punya uang. Taraf hidup anda kemudian menjadi dibawah standart kelayakan. Jadi, anda tidak punya pilihan lain selain bekerja agar anda dapat mengontrol pemasukan. Dengan bekerja maka anda dapat menghasilkan sesuatu. Semakin tinggi tingkat produktifitas kerja, maka semakin tinggi pendapatan yang anda peroleh. Walhasil, dengan pendapatan tinggi maka dapat merangsang daya beli, termasuk pangan.

Itu tadi pandangan subjektif saya, yang lebih menitikberatkan tingkat kesejateraan pada tataran produktifitas (pendapatan) masyarakat. Ternyata, pemerintah justru berasumsi sebaliknya, mengukur tingkat kesejateraan pada tataran konsumsi. Dalam hukum ekonomi dari klasik sampai kontemporer semuanya mengamini bahwa hal utama dalam menciptakan kesejateraan adalah tinggi-rendahnya produktifitas atau tinggi-rendahnya pendapatan masyarakat. Kita mungkin dapat belajar dari pengalaman negara lain yang pengembangan agraria atau pertaniannya dapat di nilai sukses. Negara-negara seperti Vietnam, Thailand bahkan Amerika yang katanya dedengkot liberalisme, ternyata mereka semua adalah pembela petani sejati. Petani diberikan akses pasar dan bantuan modal, segala hambatan untuk bertani diselesaikan lewat kebijakan pemerintah. Selain itu mereka juga membatasi impor pangan agar harga pangan hasil petani dalam negeri dapat di jual dengan harga yang layak. Akhirnya, negara-negara tersebut mampu menciptakan kesejateraan untuk pada petaninya.

Pergeseran Nilai

Keadaan di Indonesia tak semesra itu. Dengan adanya Pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant-based agriculture (pertanian berbasis-desa) dan family-based agriculture (pertanian berbasis-keluarga) menjadi corporate-based food (perusahaan berbasis pangan) dan agriculture productio (produksi pertanian). Saya menyadari sepenuhnya bahwa ada beberapa terobosan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Tetapi sangat disayangkan pemerintah justru mendorong program food estate. Padahal, dalam hemat saya permasalahan utama dunia pertanian kita adalah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Akses masyarakat atas tanah semakin sulit sehingga masyarakat tidak mempunyai kesempatan melakukan produksi. Selain itu, banyak persoalan agraria yang belum terselesaikan seperti alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan, perumahan, jalan atau industri.

Pergeseran tersebut, menurut saya dapat semakin menyudutkan petani. Petani kemudian dihadapkan langsung dengan perusahan-perusahan raksasa yang dengan kekutan modal besar dan dukungan penuh pemerintah dapat memproduksi dalam skala besar. Sedangkan petani seakan masuk dalam labirin kehidupan (produksi) yang rumit. Petani kita selalu dihadapkan dengan persoalan klasik seperti semakin menyempitnya lahan pertanian, bibit mahal, pupuk langka, produksi menurun, dan bila panen tak jarang harga pangan justru turun terjun bebas karena banjir impor. Sehingga petani seperti Pak Marhein ketika Soekarno masih muda sampai petani detik ini, masih saja terbelit dengan persoalan-persoalan yang saya kira masih serupa. Seakan tidak ada jalan keluar untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan harkat hidup masyarakat tani.

Ijinkan saya mengutip pandangan alternatif organisasi buruh tani dan petani internasional La Via Campesina di mana SPI (serikat petani Indonesia) juga tergabung di dalamnya: Esensi dari kedaulatan pangan (food sovereignty) didefinisikan sebagai hak sebuah negara dan petani untuk menentukan kebijakan pangannya. Meletakan prioritas pada produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin ketersediaan tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping. Kedaulatan pangan adalah bahwasanya para buruh tani dan petani berdaulat dalam menentukan pemilihan cara produksi, jenis teknologi, hubungan produksi, distribusi hingga menyangkut masalah keamanan pangan. Karena itu, kedaulatan pangan mendorong semua jenis aktivitas produksi pangan harus dikerjakan oleh para petani itu sendiri, sehingga yang dinamakan kedaulatan pangan dimiliki oleh petani bukan oleh pengusaha.

Ketahan pangan saja tidak cukup untuk menjawab persoalan kesejateraan kaum tani dan manusia Indonesia secara keseluruhan. Karena konsep ketahanan pangan yang kita adopsi sekarang sangat menguntungkan pengusaha (investor) dan menyudutkan petani kecil. Bila kita coba sempitkan pada persoalan pangan dan agraria, maka tidak ada ketahanan pangan nasional sejati bila tidak dibarengi dengan kedaulatan pangan (food sovereignty) dan kedaulatan pangan akan terwujud bila ada kedaulatan agraria.

Kedaulatan Agraria

Sekilas, kebijakan food estate mengingatkan saya pada kebijakan masa kolonial Belanda lewal Agrarische Wet No.55 dan Agrarisch Besluit No.118 tahun 1870 atau undang-undang agrarian. Salah satu aturan pokoknya adalah pengaturan hal milik tanah yang di dominasi oleh colonial. Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit kemudian menjadi legitimasi liberalisasi pertanian dengan masuknya perusahaan-perusahaan internasional. Ketika itu, banyak berkembang perkebunan seperti teh di Jawa Barat, gula di Jawa Tengah, karet dan tembakau di Sumatra, kopi Sulawesi dll. Selain itu, terjadi penyempitan lahan (tanah) karena tanah-tanah warga atau tanah adat atas desakan pemerintah Kolonial dialih fungsikan sebagai perkebunan atau pabrik yang kesemuanya di kontrol oleh pemilik modal (investor). Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit bukan saja menjadi mimpi buruk bagi petani ketika itu, tetapi merupakan salah satu bentuk eksploitasi sistematis atas sumberdaya alam dan manusia.

Dampak yang ditimbulkan tidak kalah hebatnya. Secara historis, kemunculan Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit menciptakan pergeseran pola produksi pertanian yang awalnya berbasis pada pengelolaan tanah secara bersama untuk kebutuhan hidup keluarga, desa atau petani. Berubah menjadi model produksi pertanian berbasis industri yang di kontrol oleh investor dan posisi petani bergeser menjadi buruh tani karena tanah garapannya telah hilang. Secara politik, ekonomi, sosial-budaya, kehadiran Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit adalah kutukan yang sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, sadar atau tidak, masih kita rasakan mewarnai dunia agraria Indonesia.

Menurut ekonomi senior Sritua Arif, dikutip dari Bonnei Setiawan dalam bukunya Globalisasi Pertanian. Sritua Arif menyatakan bahwa, Kebijakan ekonomi Indonesia dan proses ekonomi yang mengikutinya telah berjalan di atas suatu struktur ekonomi warisan kolonial...dulu dikembangkan dan diperkuat untuk melayani negara-negara asal pihak penjajah dan sektor massa agraris merupakan neglect area (area terabaikan) dan sumber kuli murahan... diatas struktur dan situasi inilah kebijaksanaan ekonomi Indonesia selama ini telah dijalankan sehingga pada hakekatnya sadar atau tidak sadar sebetulnya kita telah memperkuat dan mengembangkan struktur ekonomi warisan kolonial.

Saya pikir, pendapat tersebut masih cukup beralasan bila kita membandingkannya dengan seksama kebijakan-kebijakan pemerintah sekarang yang cenderung menguntungkan investor atau pengusaha ketimbang nasib petani. Food estate adalah salah satunya. Persoalan mulai muncul ketika alih fungsi lahan terjadi. Dampak sosiolagis dan ekologis akan menjadi ancaman serius. Pembukaan lahan dengan penebangan hutan tentunya akan menghadirkan ketidak seimbangan ekologi dan ujung-ujungnya akan berdampak pada bencana ekologis, seperti banjir, erosi, atau kekurangan air bersih. Selain, itu kita juga harus mengukur dampak sosiologis, terutama untuk masyarakat adat yang ternyata merasa terusik dengan program tersebut. Karena lahan untuk food estate

merupakan tanah adat yang disakralkan dan dilindungi oleh masyarakat. Belum lagi kita mengukur dampak struktural yang ditimbulkan. Khusunya tentang pergeseran pola pertanian nasional dan peta persaingan antara petani tradisional dengan industri skala raksasa.

Kembali pada UU Pokok Agraria 1960

Saya sedikit menyinggung tentang pengalaman historis kita sebagai suatu nation-state. Pasca kemerdekaan, para founding father menyadari struktur warisan kolonial yang sedang diwarisi oleh negara pasca kolonial. Khususnya pada bidang ekonomi-politik terkait persoalan agraria di Indonesia pasca diterbitkanya Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit. Wal hasil, Lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan Soekarno mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Adalah payung hukum agraria dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial. Perombakan tersebut untuk menghilangkan unsur-unsur diskriminasi masal yang secara struktural telah diidap selama ratusan tahun.

Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar, bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemaknaan “dikuasai oleh Negara” bukan dalam pengertian bahwa warga Negara menyerahkan tanahnya kepada Negara, namun pada tatacara pengelolaan wilayah sebagai suatu tertib administrasi. Negara sepenuhnya menghormati kepemilikan individu atas tanah atau kepemilikin tanah skala luas lewat tanah ulayat (tanah adat). Negara kemudian memposisikan diri sebagai pelindung atas sumberdaya produktif agar tidak jatuh ketangan asing atau individu yang berpotensi akan menyempitkan ruang gerak dan pendapatan masyarakat.

UUPA 1960 menyatakan bahwa, Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Artinya Negara secara tegas melindungi kepentingan dan kedaulatan kepemilikan dan pengelolaan tanah. Anda bisa bayangkan, bila tidak ada mekanisme pengontrolan atas tanah maka sudah dapat dipastikan akan muncul persoalan tata rung yang serius. Hutan sebagai sumber mata air bisa berubah menjadi industry kayu sehingga terjadi krisis air, banjir atau tanah longsor karena terjadi pengundulan hutan. Atau, lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan, sehingga produksi pangan akan menurun dan berdampak pada tingginya harga pangan sehingga sukar di jangkau oleh masyarakat. Mungkin itu sekelumit persoalan, bila tata ruang tidak dapat dikelola dengan bijaksana.

UUPA 1960 hadir untuk memberi jalan dalam pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa secara bijaksana. Agar kedaulatan dan kemakmuran rakyat bisa ditentukan oleh rakyat itu sendiri dengan bantuan atau difasilitasi oleh pemerintah sesuai amanat konstitusi. Amanat Konstitusi Negara (UUD) menyatakan bahwa, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan yang disusun dalam satu skema besar atau nasional. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip demokrasi ekonomi sebagai jawaban yaitu keadilan masyarakat dalam berproduksi.

Masyarakat memiliki hak untuk mengelola sekian sumberdaya alam, tentunya harus didukung oleh Negara sebagai pelaksana daulat rakyat. Sayangnya UUPA 1960 secara dejure masih ada, namun secara vacto tidak pernah dilaksanakan. Pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto berdampak pada terabaikannya UUPA 1960. Proses de-Soekarno-isasi dan derasnya arus liberalisasi ekonomi dengan jargon developmentalism (pembangunan) membuat segala sesuatu termasuk undang-undang yang dikeluarkan semasa Soekarno dan menutup keran liberalisasi ekonomi (masuknya modal asing) diacuhkan atau bahkan dihilangkan secara dejure maupun secara vacto oleh rezim Soeharto.

Bila memperhatikan karakter kebijakan agraria saat ini. Terutama dengan diterbitkannya program food estate dan dibandingkan dengan karakter kebijakan agraria zaman kolonial. Maka, saya sampai pada pemahaman yang cukup menyesakan hati. Suatu kenyataan historis yang ternyata sungguh sanggat menciderai daulat rakyat yang tertuang dalam amanat konstitusi. Bahwa secara mendasar, suka atau tidak suka, kenyataan sejarah menunjukan bahwa karakter kebijakan agraria saat ini tidak ada bedanya dengan kebijakan agrarian zaman colonial. Meski kemerdekaan sudah diproklamirkan puluhan tahun yang lalu tapi kebijakan masih saja bersifat kolonialistik. Ini adalah pekerjaan rumah yang cukup berat. Tantangan zaman yang harus dijawab oleh generasi kita saat ini, dalam upaya menyusun spirit dan karakter bangsa yang berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya.




Label: , edit post
0 Responses

Posting Komentar