tepukan kemenangan

tepukan kemenangan

Bersama malam yang lembab. Sunyi mengelayut pada wajah bulan yang murung. Di lorong sempit kami duduk berdua, menatap senyap setelah seharian memeras keringat. Lelah memburu dalam hati, menyesakan nafas, Seperti guyuran hujan berkejaran membasahi bumi.

Besok lagi kawan, cukup untuk hari ini... bisik Sandi pelan

Aku menatapnya spontan, sebuah tatapan kosong penuh putus asa. Aku tidak habis pikir, setelah bekerja seharian, upah yang kami dapat bahkan tidak cukup untuk menganjal perut. Lapar seakan jadi sahabat setia menemani tidur malam kami.

Ini sepi yang kurindukan. Ketenangam yang indah, tanpa deru kendaraan bermotor, tanpa suara mesin-mesin pabrik, tanpa suara hirukpikuk manusia satupun. Aku selalu berharap ini kan jadi malam panjang karena mungkin besok tidak setenang malam ini. Sandi mulai membuka obrolan

Ia… bahkan kita bisa mendengar jangkrik bernyayi. Balasku pelan

Sandi orang yang cukup tegar. Hidup tanpa mengenal orang tua. Jalanan kini jadi rumah baginya. Dia seperti karang, meski dihantam ombak setiap saat, masih saja kokoh, semakin ditempa dia semakin kuat. Berbeda dengan ku, memilih kabur menghindari pernikahan dini yang sirancang ibuku. Aku memilih pergi karena aku pikir masih terlalu dini untuk anak usia 18 tahun sepertiku untuk membina rumahtangga. Dengan begini, aku mungkin bisa melanjutkan pendidikan dan meraih mimpi kecilku. Mimpi yang teramat sederhana. Punya bengkel sendiri. Maklum ayahku tukang tambal ban. Profesi yang hidup dari musibah orang lain.

Kenapa kau tidak pulang saja? kasihan ibumu…Sandi mulai bertanya, sebuah pertanyaan yang paling ku benci.

Aku masih muda, masih banyak yang bisa ku kerjakan. Aku masih inggin meraih mimpi kecil ku! jawabku tegas.

Sandi menatapku dalam. Sorot matanya mulai menangkap keraguan dalam hatiku. Mungkin dalam pikiranya sedang mengejekku. Meski tidak menempuh pendidikan formal, pengetahuannya cukup tinggi terutama dalam membaca pisikologi orang lain. Terkadang aku heran, dari mana anak yang usianya satu tahun dibawah ku bisa tahu semua itu. Belakangan aku mulai sadar, ternyata tumpukan koran bekas atau majalah yang kami kumpulkan seharian disantapnya satu persatu sebelum akhirnya bermuara di pengepul kertas kiloan.

Kini amarahnya mulai terpancar pada wajahnya yang memerah. Memang dia sedikit temperamental bila bicara soal sesuatu yang dia anggap sangat prinsipil. Sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Aku bersiap memasang kudakuda, siaga menerima serangan balik…

Ah.. dasar anak manja. Orangtua pasti punya pertimbangan bijak untuk menentukan atau memutuskan sesuatu. Kau harusnya bersyukur karena masih punya orangtua yang peduli. Bisa kau bayangkan bila berada diposisiku? Dia berhenti sejenak, memberi jedah untukku berfikir. Ekspresinya begitu geram. Sangat emosional dan berapi-api. Aku seperti melihat Hitler sedang orasi.

Aku hidup dididik jalanan. Semenjak kecil aku dibesarkan di pantiasuhan. Sampai sekarang, aku tidak tahu siapa orang tuaku. Karena bosan, aku memilih kabur. Itu pilihan yang sulit. Karena aku pikir, hidup di pantiasuhan atau di jalanan sama saja. Tetapi aku senang sekarang. Dengan begini, aku bisa memilih dan ini pilihanku. Aku merasa merdeka karena aku punya pilihan untuk menjalani hidupku sendiri. Inggat kawan… setiap pilihan ada harganya dan sepahit apapun itu, kita harus siap karena itu pilihan yang sudah kita pilih. Maka kita harus menjalaninya. Janganlah mengerutu atau mengeluh. Ucapnya optimis sambil memeluk dan menepuk pundanku. Kemudian meneruskan

Badai itu harus ditantang. Kalau tidak, kau akan jadi kapas terhempas tak tentu arah. Prinsip hidupku hanya satu kawan! aku tidak akan beranjak dari panggung sebelum pertunjukan usai dan layar panggung mulai tertutup. Aku mau jadi orang terakhir yang mendengar gemuruh tepuk tangan penonton. Itu tepukan kemenangan kawan…



Jogja. Selasa 05-Okt-2010
Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar