Menakar Nasional(isme) Anak Pesisir


Strategi pengelolaan Lingkungan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Lewat Hukum Sasi

Oleh: Gafur Djali


Abstrak

Masyarakat pesisir adalah potret buram kemiskinan di negeri ini. Ketimpangan pembangunan akibat strategi pembangunan yang kurang adil dan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi atau ulah manusia adalah situasi yang semakin menyudutkan masyarakat pesisir. Di saat peran struktural pemerintah urung terlaksana, maka dibutuhkan strategi pengembangan berbasis pada kekuatan kultural masyarakat, komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat. Strategi tersebut sebagai upaya pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Pada tulisan ini, saya meminjam kebijakan adat yang umumnya dijalankan di Maluku. Pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, berbasis pada kearifan lokal masyarakat Maluku. Yaitu hukum Sasi.


“Nenek moyangku seorang pelaut, maka di laut kita jaya”
Kita semua mungkin sangat akrab dengan ungkapan di atas. Terlebih bagi saya, anak pesisir yang dididik oleh laut. Bagi saya, laut seakan jadi tempat bermain sekaligus rumah yang sangat nyaman. Ungkapan di atas terkadang jadi yel-yel atau nyanyian ketika kami (anak-anak pesisir) sedang memancing, berenang atau sekadar bersantai di pantai bersama teman-teman. Ketika itu, kami sungguh yakin bahwa daerah pesisir (pantai dan laut) adalah tempat paling menyengkan di muka bumi. Dari pesisir pantai, mata begitu luas memandang, menatap cahaya mega senja yang menembus kolong-kolong langit, tanpa batas sampai menyentuh garis cakrawala. Menyelami dasar laut membuat kami seakan menemukan surga kehidupan penuh warna. Kami seakan menemukan kawan-kawan baru, bermain bersama ikan-ikan aneka spesis, terumbukarang aneka bentuk serta biota laut lainnya.

Laut membuat imajinasi kami menjadi liar. Bila ada yang bercita-cita menjadi Marinir, Atlit renang nasional atau Penyelam, itu akan jadi bahan tertawaan bersama. Tak jarang dari kami ada yang bercita-cita menjadi ikan. Alasannya sederhana, saya ingin bebas pergi kemana saja saya suka. Berenang menyeberangi teluk, selat atau lautan luas. Mengunjungi samudera biru, merasakan dinginnya Antartika atau mencicipi hangatnya laut Florida. Sungguh suatu cita-cita yang imajiner. Selain itu, kami juga begitu akrab dengan berbagai ritual-ritual adat yang sering diselenggarakan. Ketika itu, kami tidak mengerti banyak hal. Kami hanya pahami bahwa laut dan manusia adalah saudara, maka kita harus saling menjaga.

Dalam kacamata kecil kami, laut seakan jadi anugerah bagi kami masyarakat pesisir. Pemandangan yang indah, ikan, kepiting, teripang, udang, rumput laut, mutiara dan masih banyak lagi. Semuanya ada di sini, telah tersedia secara alamiah dan kami bisa mengambilnya kapan saja kami mau. Para nelayan begitu piawai menaklukan laut. Perahu atau kapal nelayan selalu bersandar di dermaga dengan hasil tangkapan yang memuaskan. Kehidupan kami sederhana, boleh dibilang mencukupi untuk standar sandang, pangan, papan, akses pendidikan dan kesehatan. Pengalaman di atas hanyalah ilustrasi dari sebuah desa kecil di pesisir utara pulau Ambon. Dan mungkin dapat menjadi potret masyarakat pesisir di Indonesia.


Wilayah Pesisir yang Terlupakan

Belakangan, saya baru menegerti, apa yang selama ini kami amini sebagai anugerah ternyata berubah menjadi kutukan. Karena di belahan dunia lain, meski kekayaan negeri ini melimpah ruah, masyarakat pesisir adalah masyarakat yang akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Semuanya dapat secara kasatmata di lihat. Gubuk-gubuk reot sepanjang bibir pantai dan perkampungan kumuh jadi pemandangan biasa. Kesehatan dan pendidikan terkadang jadi barang mewah. Dapat dihitung dengan jari, hanya segelintir orang saja yang dapat melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi atau mendapat akses kesehatan. Suatu ironi yang sungguh memilukan.

Masyarakat pesisir adalah potret buram kemiskinan di negeri ini. Semakin panjang garis pantai, maka semakin banyak penduduk miskin Indonesia. Saya melihat kemiskinan yang terjadi diakibatkan strategi pembangunan yang kurang tepat. Selama ini, terutama ketika Orde Baru, geliat pembangunan hanya terkonsentrasi di wilayah darat (continental orientation) sedangkan pembangunan wilayah laut (maritim orientation) cenderung terlupakan. Sektor kelautan dan perikanan dianggap sebagai sektor pinggiran (peripheral). Model pembangunan ini secara struktural, selain menciptakan pembangunan yang timpang juga telah menciderai arti Indonesia sebagai negara maritim atau negara kepulauan.

Ketimpangan pembangunan tersebut diperparah dengan kerusakan lingkungan. Pada Januari 2009, Kementrian Kelautan dan Perikanan memaparkan bahwa, dari total luas wilayah perairan Indonesia yaitu 5,7 juta kilometer persegi. Seluas 3,9 juta kilometer persegi atau sekitar 70 persen dalam keadaan rusak ringan hingga rusak berat. Hanya Seluas 1,8 juta kilometer persegi atau 30 persen yang kondisinya masih baik. Kerusakan tersebut dipicu oleh beberapa faktor seperti rusaknya hutan bakau akibat abrasi pantai atau pembangunan. Penangkapan ikan dengan bahan beracun atau bom sehingga merusak karang atau biota laut. Sampah dan zat kimia yang di produksi rumah tangga atau industri, dan masih banyak lagi persoalan struktural maupun non struktural yang memperparah kerusakan wilayah pesisir, perairan atau laut tersebut.

Kerusakan wilayah perairan khususnya wilayah pesisir tentunya akan menjadi kabar buruk bagi masyarakat pesisir. Praktis, masyarakat pesisirlah yang akan terkena dampak langsung dari kerusakan lingkungan tersebut. Ketika tempat yang selama ini dijadikan sebagai tempat hidup dan menafkahi keluarga telah rusak sama artinya kelangsungan kehidupan masyarakat pesisir sedang terancam. Sangat sulit membayangkan peningkatan kesejateraan masyarakat pesisir bila rusaknya kondisi perairan. Kerusakan lingkungan tersebut secara otomatis akan berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat pesisir.

Kondisi tersebut diperparah dengan beberapa kebijakan pemerintah. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif dasar listrik, melonjaknya harga kebutuhan pokok dan lainnya, ternyata juga berimbas langsung bagi para nelayan. Untuk melaut diperlukan biaya ekstra, membeli BBM atau es balok dll. Kerusakan wilayah pesisir memaksa para nelayan memperluas daya jelajah bahkan sampai ke laut samudera. Bila cuaca dan musim sedang baik itu jadi nasib baik bagi para nelayan. Namun bila cuaca memburuk, untuk menutupi biaya melaut saja tidak cukup dan terkadang banyak yang mengalami kerugian. Ketika laut sudah tidak dapat lagi dijadikan sandaran hidup di tengah kebutuhan perut yang semakin mencekik, maka sangatlah mungkin banyak dari nelayan akan memilih beralih profesi. Menjadi buruh pabrik, tukang ojek atau urbanisasi mencari pekerjaan di kota adalah pilihan sulit, yang mungkin saja akan di tempuh untuk sekadar menyambung nafas.

Kita semua menyadari, bahwa masyarakat pesisir kini dikepung dari dua arah secara bersamaan. Ketimpangan pembangunan akibat strategi pembangunan yang kurang adil dan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi atau ulah manusia itu sendiri. Bukanlah suatu kemustahilan untuk dapat keluar dari kesulitan tersebut. Saya dapat sedikit bersyukur karena wilayah pesisir di daerah kami masih terjaga kelestariannya meski ada potensi kerusakan di beberapa titik. Namun, semuanya bisa dikontrol lewat kebijakan adat masyarakat setempat.

Dalam tulisan ini, saya akan paparkan sedikit pandangan subjektif saya tentang strategi pengembangan masyarakat pesisir. Strategi pengembangan yang berbasis pada kekuatan kultural masyarakat, komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat. Terutama meminjam kebijakan adat yang umumnya dijalankan di Maluku. Yaitu hukum Sasi.


Pengelolaan Wilayah Pesisir

Saya meyakini bahwa tidak ada perubahan tanpa kesadaran. Saya pikir ada baiknya bila kita belajar dari kegagalan atau kurang optimalnya beberapa program pemerintah terkait pengelolaan wilayah pesisir. Menurut saya, kegagalan dikarenakan program tersebut belum mampu menyentuh kesadaran masyarakat secara langsung. Pemerintah terkadang menjalankan program-program yang terlalu kaku, sukar diadaptasi atau bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Saya menilai, hal tersebut disebapkan kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam merancang, menjalankan atau mengkoreksi program-program pemerintah tersebut. Dalam posisi inilah, masyarakat pesisir terkadang menjadi objek kebijakan bukan sebaliknya menjadi subjek kebijakan itu sendiri.

Untuk menjawab persoalan di atas. Maka, saya memandang dalam pengelolaan wilayah pesisir dibutuhkan ketepatan antara pengelolaan secara kultural maupun secara struktural. Saya meyakini dalam setiap struktur masyarakat tentunya memiliki kearifan lokal masing-masing. Keunikan budaya yang lahir dari persinggungan manusia dengan alam maupun manusia dengan manusia. Khususnya masyarakat pesisir, terutama masyarakat Maluku. Masyarakat Maluku memiliki struktur adat yang kemudian mampu diadaptasi untuk pengembangan wilayah pesisir. Masyarakat Maluku pada umumnya merupakan masyarakat yang mendiami pesisir atau pulau-pulau kecil. Sehingga kelestarian lingkungan menjadi harga mati. Dalam tradisi adatnya, masyarakat Maluku mengenal hukum Sasi.

Hukum Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati alam (hewani maupun nabati). Sasi memuat peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan rapat Dewan Adat. Keputusan adat tersebut kemudian dilimpahkan kepada Kewang. Kewang adalah suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan sasi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Prosesi sasi terdiri dari dua bagian yaitu tutup sasi (pemberlakuan larangan) dan buka Sasi (pencabutan larangan). Keduanya melalui suatu prosesi adat yang sakral dan melibatkan seluruh masyarakat. Bila ada yang melangar sasi, akan mendapat sangsi. Sangsi dapat berupa sangsi material maupun sangsi adat. Masyarakat percaya bahwa melangar sasi merupakan pelangaran berat, bahkan dapat berdampak musibah bisa berupa sakit atau kematian bagi si pelangar. Kondisi tersebut membuat prosesi hukum sasi dapat berjalan lancar dan optimal, karena masyarakat sadar pentingnya sasi dalam hidup.

Contohnya adalah Sasi meti. Merupakan jenis sasi yang paling umum dan hampir dapat ditemui di seluruh masyarakat pesisir Maluku. Sasi meti adalah sasi yang diletakan pada batas zona pasang surut air laut. Fungsinya agar supaya tanaman dan organisme laut lainnya dapat berkembang biak. Karena pada zona tersebutlah banyak hidup biota laut seperti ikan, teripang, kerang dll. Pada hari yang ditentukan untuk buka sasi, masyarakat akan berkumpul dan melakukan panen bersama.

Yang paling unik adalah prosesi sasi ikan lompa (Trisina baelama) di pulau Haruku, Maluku. Ikan lompa adalah sejenis ikan sardin kecil yang dapat hidup di dua alam yaitu air tawar dan air asin. Ketika acara tutup sasi, masyarakat dilarang menangkap ikan tersebut, sehingga populasi dan regenerasi ikan tersebut dapat dinamis. Anda mungkin akan berdecak kagum atau terheran bila melihat prosesi buka sasi ikan lompa di Haruku. Pada waktu buka sasi tiba, masyarakat akan berkumpul di pertemuan dua alam (sungai dan laut). Pemangku adat akan mulai menjalankan prosesi adat. Tifa mulai di tabuh dan gong di talu, seketika itu juga ikan lompa akan datang mendekati asal suara tersebut dan masyarakat dipersilahkan untuk memanen. Hasil panen kemudian dikumpulkan dan dibagi secara adil sesuai dengan hitungan yang telah di tentukan oleh adat.

Itu hanyalah beberapa contoh kecil praktek hukum sasi di Maluku dan masih banyak lagi bentuk objek hukum sasi yang lain. Hukum sasi memiliki dampak positif bagi hubungan manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan alam. Bentuk harmonisasi dalam menciptakan keseimbangan kehidupan. Ada empat aspek penting yang dapat kita pelajari dari hukum sasi. Pertama, Aspek budaya dan kepercayaan. Sasi berhubungan erat dengan konsep kepercayaan atas kekuatan alam, roh-roh leluhur dan agama. Kedua, Aspek politik dan administrasi. Pelaksanaan Sasi memerlukan pelembagaan atau organisasi yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat lewat mekanisme adat. Ketiga, Aspek ekonomi. Sasi adalah bagian dari sistem ekonomi dan sistem pengelolaan sumberdaya alam. Sasi membatasi eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Serta dapat menjadi semacam tabungan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Keempat, Aspek ekologi. Sasi memperhatikan pengelolaan sumberdaya alam yang menjunjung tinggi kesinambungan ekosistem dan kelestarian lingkungan.


Kesimpulan

Saya percaya, masih banyak kearifan lokal lainnya yang dapat digali dan diterapkan dalam upaya pengembangan masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Kearifal lokal tentunya menjadi solusi alternatif di tengah buntunya peran struktural pemerintah. Adaptasi pengembangan masyarakat berbasis kearafan lokal juga dapat berfungsi sebagai benteng di tengah derasnya arus modernisasi yang mengancam eksistensi budaya lokal.

Sampai pada titik inilah, nasional(isme) bagi kami sebagai anak pesisir bukanlah semata dimaknai sebagai patriotisme dan pengabdian pada bangsa. Nasional(isme) bagi kami adalah sesuatu yang begitu dekat, sangat dekat sekali. Kami bahkan merasakannya mengalir dalam aliran darah kami. Nasional(isme) bagi kami adalah melestarikan lingkungan milik anak cucu yang saat ini sedang dititipkan pada kami. Pantai, laut, terumbukarang, ikan, teripang, mutiara dll, semuanya adalah titipan yang harus kami jaga dan untuk dikembalikan kepada anak cucu kami. Tugas yang terlampau berat tentunya, tetapi kami dapat berbesar hati karena memiliki kekuatan adat (kearifan lokal). Warisan budaya leluhur yang harus kami junjung tinggi, kami jalankan dan kami patuhi bersama. Seperti pesan para tetua-tetua adat, pesan yang kami yakini sampai detik ini. Laut adalah saudara laki-laki, sesama saudara harus saling menjaga dan mengasihi, maka hiduplah dari alam tetapi jangan lupa untuk menghidupi alam.



Jogjakarta,Senin 20 September 2010
Penulis adalah peneliti pada Cakrawala Institute.
(Center for Fair Development Studies-Pusat Study untuk Keadilan Pembangunan)
0 Responses

Posting Komentar